Katanya, Aku adalah seorang Kakak, meski tidak lahir dari rahim Ibunya. Aku mengamini, karena sudah lama sekali ingin ku enyahkan teriakkan di kepala dan jerit hati tertahan disebuah sudut paling pedih dari masa kecilku. Aku melihatnya tersudut dengan air mata mengering dan tak sempat menetes, Aku tak kuasa meneriakkan pedihnya, siapa Aku?
“Anak tak berguna!”
“Anak bodoh!”
Seperti sahabat karib yang datang menjenguk setiap hari, teriakkan itu tak henti menghiasi hari-hariku. Aku harus sempurna, tidak boleh cacat sedikit pun saat terlambat berangkat sekolah setelah membereskan rumah dan lupa menutup pintu rumah atau tak sempat menyetrika baju adik-adikku. Aku harus sempurna, tidak boleh cacat sedikit pun saat harus mengurus seluruh kebutuhan keluarga. Aku harus sempurna, tidak boleh cacat sedikit pun saat tidak boleh lagi menjamah masa kanak-kanakku sejak usia 7 tahun.
Si bodoh ini tidak boleh punya kekurangan.
Mungkin begitulah tugas seorang Kakak, tidak boleh membantah ketika dituding dan dibentak. Maklum.
Ingin kusentuh tangan Mama dan Papa, sementara Aku sendiri sudah lupa jalan pulang. Mungkin disana ada kehangatan yang mampu mengobati memar di hati dan benakku. Karena sungguh, Aku tidak ingin si Bodoh ini tumbuh dewasa dan menua.
Ku genggam tangan-tangan mungil buah hatiku, Aku pastikan si Bodoh ini tidak menjadi penyakit menurun baginya. Karena Aku ingin mengenal Mama dan Papa dari dunianya, dari setiap canda tawa masa kanak-kanak yang tak pernah kualami.
Aku adalah seorang Kakak dan Aku harus sempurna, tidak boleh ada cacat sedikit pun karena kita tidak lahir dari rahim yang sama.
#ChildPhsicysAbuse