Keputusanku sudah bulat, aku harus pulang.
Aku tidak bermaksud menyakitimu Bunda, tapi laki-laki yang berbicara dengan Opa 13 tahun yang lalu itu Papa kan? Dia memanggil namaku โWandiraโฆโ
โSekolahmu bagaimana Dira?โ Bunda tidak setuju ketika kusampaikan keinginan untuk tinggal dengan Oma dan Opa di Jakarta
โDira kan bisa sekolah di Jakarta Bundโฆโ jawabku dengan yakin
โKamu keras kepala Dira!โ dada Bunda terlihat sesak โkamu tahu? Dulu, Vira pergi juga gara-gara keras kepalanya!โ
โAku sayang Bundaโ aku memeluk Bunda saat mengantarku ke Incheon International Airport, sepertinya Bunda terluka, dia membuang pandangan untuk menyembunyikan air mata yang terlanjur jatuh.
___
โAku hamil!โ
โKoo bisa?โ
โKita sudah melakukannya Wan..โ
โTidak mungkinโฆAyah dan Ibu bisa membunuhkuโ
โJadiโฆ?โ
โGugurkan kandunganmu!โ
Usia mereka masih 20 tahun kala itu, Irwan Pamungkas adalah anak tunggal keluarga terpandang yang tidak mungkin mencoreng muka Bapaknya karena kehamilan seorang wanita di luar nikah. Lupa akan kisah kasih mereka, membuat laki-laki ini kehilangan akal.
โAku tidak mungkin punya anak saat ini!โ Irwan mengelak โgugurkan kandunganmu, atau hubungan kita harus berakhir.โ
Wanitanya tertunduk dalam lautan kesedihan.
โHubungan kita berkahir Wanโฆjanin ini sudah bernyawa.โ
___
Bandara International Soekarno Hatta.
Aku menutup buku harian Mama. Sejak kecil aku berulang-ulang membaca buku harian itu, buku harian yang mencatat sejuta cinta Mama untuk Papa. Kuseka air mata, tak sabar rasanya ingin segera berpeluk dengan Oma dan Opa. Sudah 2 tahun lebih Oma dan Opa tidak mengunjungi kami ke Seoul Ibu Kota Korea Selatan, kota dimana aku dibesarkan. Biasanya hampir 3 bulan sekali Oma dan Opa mengunjungi kami, sekarang mereka sudah letih untuk berpergian terlalu jauh.
Tiga belas tahun yang lalu, Bandara ini memotret wajah seorang lelaki yang berusaha mengejarku dalam pelukan Bunda โWandiraโฆini Papaโฆโ aku melihat Opa berusaha menghalangi lelaki itu. Tubuhku masih sangat kecil, Bude Vetty yang mengganti peran Mama dan menjadi Bundaku sekarang, mengencangkan pelukannya menghindari pandangan lelaki itu hingga aku berhasil dibawanya ke Seoul, dan aku tumbuh besar disana dengan penuh kasih sayang Bunda.
Tuhan belum memberi Bunda keturunan dari 20 tahun pernikahannya dengan lelaki berkebangsaan Korea Selatan, sehingga aku adalah buah hati bagi mereka.
โKamu ke Jakarta karena ingin ketemu Irwan kan?โ Bunda tak sengaja membaca buku harianku , aku menulis banyak rindu untuk Papa.
โIrwan tidak pernah menginginkan kamu Dira!โ aku tak mampu berkata-kata saat melihat amarah Bunda
โGara-gara Irwan kamu terlahir tanpa seorang Ayah!โ wajah Bunda memerah โgara-gara Irwan, Mama mu Vira harus menanggung beban moral, dicaci, dihina, dilecehkan, terluka dan sakitโฆโ Bunda menangis, hatinya ikut terluka mengingat kepedihan yang pernah menimpa Mama, adiknya.
โTapi dia Papaku, dia mengejarku saat kalian berusaha membawa aku pergiโฆโ batinku.
Ingatan tentang senyum Mama sebelum tanah merah menutup tubuhnya yang selalu menyeret rinduku untuk pulang ke Jakarta. Ada luka dalam setiap senyumnya, entah harus kuberi nama apa luka itu, rindu atau kah pedih?
Mama melahirkanku tanpa Papa, dia menepis semua cacian dan cela yang mereka sebut sebagai โaibโ hanya agar aku tetap hidup dan selamat. Dia sudah membuktikan kesetiaan-nya, memberiku cinta dan kehidupan, meskipun hari-hari bersamanya tidak lah lama. Kanker mengakhiri perjuangan Mama untuk melihatku tumbuh dewasa, tapi senyum itu tak mampu menghapus ingatan tentang impiannya agar aku selalu merindukan dan memaafkan Papa.
โDira, kelak kita akan hidup bahagiaโฆkamu, Mama dan Papaโฆโ
— Gadis belia Wandira berjanji dalam hatinya untuk memperbaiki kisah kasih Mama dan Papanya. Dia tidak ingin luka di senyum Mamanya menjadi kepedihan karena amarah dan dendam.