Ketika Amsterdam Memanggil

Tulip ǀǀ Ketika Amsterdam Memanggil
Tulip ǀǀ Ketika Amsterdam Memanggil

“Cuma Lu yang belum respon email gue!!!”
Kemudain dilanjut
“PING!!!”
“PING!!!”
“PING!!!”

Blackberry ku bergetar. Pesan dari Junika Maria Hutajulu sekitar 3 jam yang lalu, rekan kerjaku di Kantor Besar Jakarta. Ibu cantik dengan satu anak ini sangat energik dalam melaksanakan tugasnya. Apa yang bisa ia kerjakan lusa, ia selesaikan hari ini.

“Ada apa sih Mba?” ditambah emo nyengir
“Akhirnya dibales juga nih. Lu udah buka email dari gue belum? Perasaan udah gue kirim seminggu yang lalu”
“Iyeee, besok ya aku fax berkasnya” jawabku pendek, terbayang wajah kesal Mba Jun disana.
“Berkas aslinya dikirim jugaaa!!!” tiga huruf a pada kata juga menandakan Mba Jun teriak, ditambah tiga tanda seru artinya dia mulai gemes. Hihihi.
“UP JUNIKA” tambahnya lagi.

Padahal aku yang seharusnya peduli pada berkas-berkas itu, Mba Jun hanya bertugas membantuku agar proses pembuatan Visa ke Melbourne cepat selesai. Tanggal keberangkatan tinggal 1 bulan lagi, dan Mba Jun ingin selalu memberikan yang terbaik.

“Proses visa dihitung setelah seluruh berkas dinyatakan lengkap, oleh pihak kedutaan” begitulah isi emailnya, seminggu yang lalu. Surat Sponsor dan Surat Keterangan Lama Bekerja yang belum aku selesaikan. Awal Bulan Maret ini, pekerjaanku lumayan menumpuk, dan untuk mengurus kedua surat tersebut aku butuh waktu seharian untuk ke Kantor Cabang Utama di Cirebon. Dengan perhitungan perjalanan pulang pergi Jatiwangi-Cirebon tidak macet.

Sebenarnya aku bisa saja minta tolong pada teman di Cabang agar dibuatkan surat tersebut, tapi rasanya tidak baik kalau tidak meminta sendiri tanda tangan dari Pemimpin Cabang. Jadi sudah kuputuskan besok akan kuselesaikan surat-surat tersebut. Aku kosongkan semua jadwal pertemuan untuk besok, dan memberi kabar pada nasabah yang memiliki transaksi rutin setiap hari, khusus untuk besok bisa menghubungi rekan kerjaku yang lain di Kantor Jatiwangi.

— — —

Hari beranjak malam, ketika telepon genggamku berbunyi. Jam 19.30 WIB, ini jam khusus Mamaku menelpon, dan benar saja “Mommy Calling”. Padahal sudah seharian kita SMS-an, bercerita ngalor ngidul. Seperti tadi siang, Mama SMS menceritakan salah satu anak didiknya bercerita tentang Nenek Moyang yang dia yakini adalah orang Belanda. Mungkin dalam pikiran sederhana anak-anak karena 3,5 abad Bangsa Belanda hidup bersama di tanah kita.

“Nanti Selo mintain Bunga Tulip buat Bu Guru dari Nenek Moyang” Anak didik Mama bernama Seloka Angin berceloteh.

“Seloka ngingetin Mama sama kamu waktu kecil. Gara-gara judul dongeng Belanda Sudah Dekat di Majalah Bobo, kamu maksa mau ke Belanda” Aku bayangin Mama sambil cekikikan “kamu pikir Belanda mau pindah tempat, ke Kuningan” semakin kubayangkan tawanya terkekeh.

Gegara dongeng “Belanda Sudah Dekat” di Majalah Bobo, aku bermimpi memetik Bunga Tulip dan memajangnya di vas bunga, ruang tamu Mama akan terlihat cantik kalau bunganya Bunga Tulip. Sejak saat itu aku sangat suka sekali dengan Bunga Tulip, bahkan minta Mama agar mengganti namaku menjadi “Tulip”.

Memenuhi keinginan gadis kecilnya, Mama mengajariku membuat kliping. Ia mengumpulkan banyak majalah, dan mencari halaman yang menceritakan tentang Belanda, Bunga Tulip dan Kincir Angin. Setiap menemukan cerita tentang Belanda Aku dan Mama membawanya ke rumah lalu menempelnya di buku yang khusus Mama beri nama “Jalan-jalan ke Belanda”.

“Sebelum berangkat, Ni harus hapal ciri khas Belanda, biar nggak nyasar” meyakinkan, bahwa benar aku memang sedang bersiap-siap berangkat ke Belanda.
“Jangan lupa bilang terimakasih sama Allah”

SMS Mama berbunyi lagi, membuyarkan lamunanku tentang Tulip. Ia masih menceritakan tentang Seloka Angin dan Nenek Moyangnya yang dari Belanda itu.

“Mom, kalau benar aku berangkat ke Belanda gimana?” SMS terkirim pada Mama
“Jangan lupa Bunga Tulipnya buat di ruang tamu Mama ya” itu akhir dari smsnya tadi siang.

Meskipun seharian kita SMSan, tetap saja sekitar pukul 19.30 WIB, wanita yang senyumnya sangat kucinta tak pernah absen menelpon.

“Mama nggak bisa, kalo satu hari saja Mama nggak denger suara anak-anak Mama” begitu ungkapnya. Anak-anaknya sudah menginjak usia dewasa, dan satu per satu meningggalkan rumahnya. Tapi ia seorang Ibu, yang dimatanya kami adalah putri dan pangeran kecil. Setelah wirid Maghrib selesai, kemudian dilanjutkan Solat Isya, Mama akan siap dengan telepon genggam. Satu per satu ia telepon anak-anaknya yang jauh dimata.

“Sudah di rumah, Ni? Ayo makan, mandi lalu istirahat” selalu itu pesannya.
“Sudah Mom” aku lebih suka memanggilnya Mommy

Tidak lama ia menelepon, hanya memastikan anaknya baik-baik saja.
“Kalau sudah denger suaranya, Mama kan tenang”

Setiap malam, kalau suami tidak bisa pulang, aku akan berselancar di dunia maya. Kadang update status di berbagai sosmed yang aku punya. Atau hanya sekedar liat-liat status orang dan komen-komen status orang.

Jam 20.00 WIB. Aku membuka email Yahoo, melihat contoh Surat Sponsor yang dikirim Mba Junika untuk ke Melbourne. Tidak terlalu panjang, hanya tidak terlalu suka dengan Bahasa Inggris yang sesuai dengan Grammar. Tepatnya nilai Mata Pelajaran Bahasa Inggrisku sejak SD tidak pernah lebih dari angka 7, payah memang. Toh kalau ke Luar Negeri orang-orang disana pun hanya menggunakan Bahasa Inggris sehari-hari, gak pake aturan. Ngeles.

Sebuah email masuk, nama pengirim Dinan Djunaedi. Jam segini? Oh tidak, ini email tadi sore. Baru masuk rupanya. Mungkin jaringan sedang tidak lancar. Aku buru-buru membuka email dari Mas Dinan, ia orang Kantor Wilayah Bandung yang beberapa waktu lalu sering meneleponku untuk persiapan acara BNI Inspiring, Sales Superstar Award. DIG DAG DIG DUG.

“Selamat untuk para pemenang BNI Sales Around The World Q4 Pemberangkatan ke Amsterdam”
Ada namaku tertulis disana. Aku langsung menelepon Mama.

“Mooom, Ni berangkat ke Amsterdam tanggal 5 Mei” dengan semangat aku bercerita
“Alhamdulillah, selamat sayang” suaranya terdengar serak menahan haru.
“Iyaaa, aku bawakan Bunga Tulip”
“Yang harus kamu ingat adalah, perjalanan membangun mimpi. Berapa lama kamu merindukan Tulip. Dan berapa harga yang kamu bayar untuk selalu yakin bahwa kamu akan jalan-jalan ke Belanda”
“Iya Mommy”
“Manusia wajib berikhtiar, sertakan Tuhan dalam setiap mimpi dan ikhtiarmu, sisanya biarkan Tuhan yang bekerja pada mimpimu, dan soal hasil itu adalah hakNya.”

Aku masih tak percaya, dan memastikan pada Mas Dinan.
“Selamat ya Din, jangan lupa oleh-olehnya”

Dari ujung telepon, aku pun mendengar nada bangga Suami, seolah memelukku ianya mengucap selamat dan syukur.
“My Super Wife. Karena kamu, lagi-lagi aku percaya mimpi adalah makhluk paling indah saat kita berani membuatnya menjadi nyata”
“Bersamamu, aku berani menjalani hidup” kututup telepon dengan kecup manis berbalut rindu.

Giliran BBM Mba Junika. Aku tidak akan menunggu sampai besok.
“Mba Juuun”
“Apeee…”
“Aku dapat Q4 ke Amsterdam”
“Udah tau, itu makany Lu mesti sering-sering buka email”
“Koo ndak cerita dari tadi siang?”
“Hehe…abis kesel, lama banget Lu bales BBM Gue. Iye say ntar gue urus pencairan Reward ke Melbourne, ujan duit Lu. Congrats ye..oleh-olehnya”
“Kisskiss hug Mba Juuun” emo kiss lope-lope.
“Basi Lu” dengan emo ngakak .

Ketika Amsterdam Memanggil.
Tuhan selalu menepati janjiNya.
Dan aku selalu berani bermimpi.

Dini Lestari ǀǀ Dare Dream Do

2 thoughts on “Ketika Amsterdam Memanggil

  1. Dini lestari.com
    Ciee gaya amat buu..
    Selamat yaa my super wife..
    Semoga smua mimpi kita selalu dapat diwujudkan dan diridhoi Allah..Amiin 🙂

Comments are closed.