Gadis Pencium Aroma Hujan

20190831_095441_0000

Tek kotek kotek kotek
Anak ayam turunlah berkotek
Tek kotek kotek kotek
Anak ayam turunlah berkotek

Lagu ayam berkotek selalu terngiang saat hujan, berbisik kisah. Dengan suguhan aroma hujan yang menarik bayang-bayang samar di masa lalu, nyanyian itu semakin memekik gendang telinga, ramai bersahutan di rongga kepala, mendesak untuk mengambil ingatan yang telah lama aku titipkan.

Nadia, ayah-ibu menamaiku. Akulah gadis pencium aroma hujan, menitipkan ingatan pada wanginya saat hujan turun. Berjalan melewati angka usia, kini aku meminta ingatan itu dikembalikan.

Samar bayangan. Libur sekolah telah usai, jalanan becek setelah hujan membuatku jatuh tersungkur mengotori seragam sekolah dasar. Kerikil tajam ikut menggores luka di kedua lutut, Ayah panik dan bergegas menggendongku. Lorong gang sempit dan bau, gendongan Ayah begitu kokoh dan menenangkan. Aku merasa aman dan nyaman, gendongan tak terlupakan.
***

โ€œArgh …!โ€ Aku memijit kepala yang terasa pusing. Aroma hujan menambah samar bayangan, potongan teka-teki berserak menertawakan ingatanku yang tidak utuh. Katanya, aroma hujan adalah terapi yang mampu membangkitkan ingatan. Aromanya yang menenangkan, membuat otot-otot tegang mengendur. Namun, bagiku aroma hujan menyeret pada pekikan suara yang menyesakkan dada.

Hari ini, debu kering dibasuh air hujan. Senja yang basah, pohon duku berbuah, rumpun pisang tunduk, Ibu asyik merajut.

Aku gadis pencium aroma hujan, wanginya menyusup liang napas dan mencuri ruang di kepala. Memenuhinya dan mengajakku bermain teka-teki. Kejadian itu seakan terulang kembali, sekuel dalam gendongan Ayah. Namun dadaku serasa tak longgar bernapas, batin meronta dalam kegagapan suara.

Gendongan Ayah seakan pesakitan di tandu, mata terpejam dan mulut terdiam.
Bagiku, aroma hujan seperti ingatan yang tidak utuh. Napasku tersengal, tembok yang buram memepat pandangan, tubuhku lemah tanpa daya, berusaha menggapai Ibu yang duduk di kursi kesayangannya melantunkan Ayat Kursi. Berteriak, tolong! dan tatapan sepasang mata mengiris kesakitan. Aku bergidik, setiap kali bayangan samar melesakkan sesak di dada.
***

“Elisa โ€ฆ.” Aku mencium aroma hujan, dan nama itu keluar dari mulutku. Ibu menoleh, pendar harap memenuhi bola matanya.
“Bu, apakah Elisa adalah teman kecilku?” Hati ini meradang, memburu wujud Elisa. Kepada Ibu yang selalu menghamparkan jiwanya, aku mencari jawaban.
“Kamu ingat Elisa?” Mataku jatuh dalam dekapan, tetapi airnya leleh mengharap kesejukan, penawar bayang agar tak menyiksa.
“Aku bingung, Bu ….” Aku sandarkan keluh di dada Ibu, sebab waktu tak lelah mengasuh dan membasuh peluh.
“Elisa, kakakmu. Saudara yang paling kausayang, kalian hanya berdua dan saling memiliki.” Mata Ibu sendu, pudar harap di matanya. Aku tak mampu mengingat.

Aku gadis pencium aroma hujan, yang menitipkan ingatan pada wanginya saat hujan turun. Meski bertahun luka di kepala menjadi karib, ingatanku tidak boleh hilang apalagi mati. Aku hanya perlu mengambil setiap potongan ingatan yang samar saat hujan turun.

Aroma hujan, dia satu-satunya aroma kuat yang mampu mengumpulkan potongan-potongan ingatan muncul kembali. Antara sesak yang bergulung di dada dan pekikan suara menyayat hati, setiap kali aroma hujan menjejaliku dengan bayang samar di masa lalu. Memang belum utuh. Namun, pantang aku mengaduh demi mengambil kembali ingatan milikku.

โ€œJika Elisa saudara kesayangan, kenapa samar bayangnya begitu mengerikan? Harusnya aku merindu.โ€ Ada getir pada tatap mata Ibu, sebuah bening tertahan di tiap sudutnya.

โ€œJangan dipaksakan, kita akan coba mengingatnya lagi lain kali , ya โ€ฆ!โ€ Bening itu akhirnya lolos dari mata Ibu, seakan menyerah pada harap.
***

Malam melemparku ke masa lalu, aku ditikam ngeri bayangan penjahat seksual keparat. “Nadia, tolong …!” Kemudian sesuatu yang keras memukul kepala, darah segar luruh bersama air hujan. Aku tersungkur ke atas tanah yang becek.

Aku membuka mata, Elisa menatap nanar. Dia menjerit kesakitan, tubuhku lemah dan tak berdaya menolong. Saat itu hujan serupa sedu-sedan, saksi luka yang pedih. Aku mencium aroma hujan di gang sempit dan bau, tangisan Elisa mencabik ayat Tuhan dalam nadi. Jelas terdengar suara Ayah menyanyikan lagu kesukaanku dan Elisa setiap kali sulit tertidur, kami akan berhitung jumlah ayam berkotek.

Tek kotek, kotek kotek
Anak ayam turunlah berkotek
Tek kotek, kotek kotek
Anak ayam turunlah berkotek

“Ibuuu … selamatkan Elisa!” Aku terbangun di antara malam yang merayap senyap, keringat membanjiri tubuh.

Aroma hujan masih memenuhi ruang dalam kepala, ingatanku tak terbendung. Seketika gendongan Ayah di masa lalu berubah menjadi cengkraman yang luluh lantakkan sendi cinta pertama anak perempuan, bunga-bunga hatiku layu. Nyanyian sunyi ramai bergemuruh di dada, rindu pun membatu. Kini, bayangan Elisa begitu nyata.

“Elisa di mana, Bu …?” Ibu terdiam, matanya lurus terhunus ke depan. Tidak lagi aku lihat getir, hanya ada kilatan api yang membakar amarahnya.
***

Aku gadis pencium aroma hujan, wanginya mengembalikan ingatan. Hujan telah reda, manakala matahari berwajah muram. Aku menghujat takdir dan menyambut taburan melati, sambil merapal puja-puji. Jantung seakan kehilangan detaknya, โ€œCinta pertamaku telah mati.โ€
Selesai.

*Tulisan ini pernah dimuat di Wattpad d1nilestar1 dengan judul Petrichor, versi blog mengalami beberapa revisi