Dear, Joker 👻
Kencan malam Minggu kemarin, aku dan Kakang Prabu belajar bersama bagaimana menempatkan diri menjadi orang lain.
“Kita tidak pernah menempatkan diri menjadi orang lain, pun saat berusaha empaty pada masalah hidupnya.”
Akui saja, tidak perlu #malu, dan maafkan diri kita.
“Aku harap, kematianku lebih masuk akal dari hidupku.”
Dua dialog di atas aku kutip dari percakapan #Joker saat dia menemui pengurus Dinas Sosial Gotham yang menangani masalah psikisnya.
Selama ini yang aku tahu, Joker adalah pembunuh berdarah dingin, supervallian. Itu penghakiman yang aku berikan padanya. Namun, tidak akan ada asap kalau tidak ada api. Pun, dengan Joker.
Dilahirkan sebagai Arthur Fleck, sutradara Thodd Philips tidak membuat Joker menjadi hiburan yang mudah ditelan begitu saja. Pilu, tragis, dan kegilaan yang mendalam.
Sebagai seorang perempuan rasanya gemas, ini adalah gambaran konflik sosial, benturan antar kelas, hingga politik manipulatif yang membebani tumbuh kembang anak-anak.
Di luar pintu rumah kita, tidak menutup kemungkinan seseorang secara sadar ataupun tidak sedang menciptakan joker pada diri seorang anak.
Kita berada pada sebuah sistem sosial yang sangat subjektif, terlalu mudah menelan penilaian benar dan salah. Seperti hidup kita, terlalu subjektif menentukan ini lucu atau tidak.
Narasi gelap yang dihadirkan pada film ini, adalah tamparan untuk kita semua agar berlaku baik terhadap siapa pun.
Tidak terlalu berlebihan rasanya, jika aku berharap, sistem sosial bisa menimbang kembali agar kekerasan verbal memiliki posisi yang sama dengan kekerasan fisik di mata hukum.
Menjaga anak-anak, sama dengan menjaga masa depan.