Tembang Jiwa

“Dunia itu sangat besar, tapi hatimu cukup untuk membawanya. Bawalah selalu besertamu, jangan biarkan dunia yang membawamu.โ€
***

Pagi menggeser malam dari singgasananya, langit pun meminang matahari. Ada senandung hangat yang melenakan, seolah menyanyikan lagu ketika kanak-kanak dulu. Perlahan mataku terbuka, aroma angin pagi selalu menjadi rindu padanya. Perempuan sederhana yang mengajarkan aku tentang hidup, perempuan yang lahir dari rahim kesabaran.

“Tidak ada yang perlu kamu takutkan dalam hidup, jika tahu makna kesabaran.”

Dialah tembang jiwa paling murni, semestaku. Rahimnya pernah kupinjam menjadi tempat persemayaman yang paling nyaman. Dia melahirkanku dengan kehidupan, dan memberi nyawa pada setiap kata cintanya.
Ah, betapa aku merindukan masa di mana selalu berlari pada pelukannya. Mencari kehangatan abadi. Kini, aku sudah memiliki dunia sendiri. Namun, semesta yang diciptakannya adalah doa yang selalu berdenyut dalam nadi. Aku hidup dengan detak sempurna dari jantungnya.
***

Dia Mamaku, yang dilahirkan tidak sempurna. Betapa tidak, Mama tidak tahu cara marah, bodohkah?

“Maafkan Mama, kalau pernah bentak Ni. Sampai-sampai, Ni bentak Mama juga.”

Aku diam. Antara kesal, rasa bersalah, dan ingin menangis. Mama tidak pernah membentakku. Kenapa Mama tidak marah? Aku sudah membentaknya, bukankah itu melukai? Biasanya karena hal sepele, malas ke warung beli bumbu yang kurang, saat Mama sedang tanggung memasak. Berkali Mama memanggilku, minta tolong.

“Ah! Kenapa enggak sekalian, tadi? Lagi nonton film!” Dahiku mengerut, bibir cemberut, dan nada suara tinggi.

Harusnya Mama marah, jadi aku tidak merasa bersalah. Harusnya Mama marah, agar aku tahu marahnya seorang ibu karena anaknya tidak patuh. Itu masa kecilku. Bagi Mama, ada cara yang lebih baik untuk menyadarkan anak dari kesalahannya. Tidak perlu marah, kalau memang tidak dibutuhkan. Jika itu hal bodoh, maka kebodohannya adalah air sejuk yang telah menyelamatkan jiwaku dari amarah.

Dia mamaku, yang dilahirkan tidak sempurna, tapi menyempurnakan hidupku. Hatinya selalu setia menjadi ibu untukku, amanah yang dititipkan Tuhan padanya.
***

Pagi menguning, aku merapikan tempat tidur, dan bersiap membuat sarapan. Dapur seperti napas Mama bagiku, dia adalah mentari yang terbit paling pagi di rumah, itu juga yang aku lakukan sekarang. Mandi lebih awal, menyeduh teh manis, kemudian menyesapnya perlahan.

Aku belajar dari Mama, menata piring, gelas, sendok, dan garpu untuk Bapak di meja makan yang telah dilapisi taplak berwarna cerah. Ada keteduhan di wajahnya saat menyiapkan makanan, kemudian Mama akan memanggil kami, “Ayo makan!”

Sederhana saja, Mama tidak pintar masak. Namun, apa pun yang dimasaknya tidak hanya mengenyangkan perut, melainkan juga menyenangkan hati. Aku suka telur mata sapi buatannya, sampai hari ini masih minta dibuatkan jika berkunjung ke rumah Mama. Tidak mau masak sendiri, pokoknya harus Mama yang buat.

Sebagai perempuan, aku ingin seperti Mama. Menjadi nyawa yang hidup dan menghidupkan rumah. Meniru caranya menyempurnakan hari.
***

Pernah, suatu sore, Mama yang aku kenal dengan senandung paling tenang, mengalirkan ombak gelisah. Seperti dikalahkan ketakutan, dengan wajah membatu. Matanya lurus terhunus ke depan. Sebutir bening yang jatuh di pipi segera dihapus saat aku menghampirinya.

“Ma ….” Aku menangkap basah matanya. Itu pertama kali aku melihat Mama disakiti dunia. Saat itu, usiaku enam tahun.

“Mama belum masak. Makan di luar, yuk!” Entah apa yang terjadi, Mama terburu membawaku dan kakak perempuan yang baru saja bangun tidur siang ke luar rumah.

Padahal, saat itu hujan turun sangat deras. Satu tangan memegang payung, tangan lainnya menggenggam jemariku, dan Kakak perempuanku memegang rok Mama. Genggamannya panas dan berkeringat, meski hujan memberi hawa dingin menusuk.

Sebuah warung kecil, kami bertiga duduk di sana. Mama memesan beberapa gorengan dan tiga teh manis hangat. Tidak makan nasi, karena bukan warung nasi. Sore itu, adalah sore yang paling diam. Sesekali Mama tersenyum, tak banyak cerita. Namun mata kecilku melihat jelas, kantung mata Mama merah dan bergetar. Dia menahan tangis.

Ada pedih, meski Mama menegarkan kerut di dahinya. Ingin aku bertanya, Mama kenapa? tapi tidak tahu caranya. Mungkin, itu cara orang dewasa menangis. Aku memang sering bandel, membuatnya susah hati. Namun, aku tidak rela jika seseorang melukai Mama.

Sore berlalu dalam diam. Merah di kantung mata Mama memudar, degup jantungnya lebih tenang. Aku harap dia bercerita. Seperti saat aku berhenti menangis dan tenang, Mama selalu memintaku bercerita. Namun, seulas senyumnya adalah isyarat, bahwa tugas anak hanya bermain dan bahagia.

Malamnya aku membawa gelisah Mama dalam tidur, ada rasa khawatir, karena sejak sore itu, aku tahu Mama tidak selalu baik-baik saja. Ada banyak hal yang tidak dibaginya denganku. Mama membangun tembok kokoh dan tinggi, anak-anak dilarang masuk ranah orang dewasa. Tembok itu dingin dan sepi, ada senandung pilu yang tak mampu aku cerna dengan nalar anak-anak. Rumah pun kehilangan nyawanya.
***

Dunia orang dewasa. Sekarang aku bergelut di dalamnya. Kadang, aku bersikap seperti anak kecil untuk menghindarinya, atau pura-pura tua untuk melewatinya. Banyak hal yang tidak bisa diurai dengan kata, seperti diamnya Mama dan air mata yang tertahan. Aku menyebutnya senandung diam, nada-nada sunyi yang berdesakan di jiwa. Ada gelisah, juga takut.

Ternyata tidak mudah menceritakan luka. Orang dewasa itu rumit. Tidak bisa begitu saja menangis dan meneriakkan rasa sakit. Kini, aku tahu rasanya saat kantung mata merah bergetar, menahan degup jantung, dan memilih diam. Tidak berbagi duka, adalah cara terbaik untuk membuat orang yang kita sayangi tidak terluka.

Beberapa waktu lalu, aku berjanji pada Mama untuk memeriksakan bagian tubuh kiri yang bertahun terasa sakit. Awalnya hanya di panggul kiri, kemudian menjalar ke dada, dan akhirnya tubuh sebelah kiri sakit seluruhnya. Kalau hari itu aku mengingkari janji, sudah bisa dipastikan Mama akan menyeretku. Itu salah satu cara Mama memaksakan cintanya.

Dua tahun terakhir sebelum keluar kerja, sebenarnya aku sudah konsisten konsultasi ke dokter. Bahkan tahun-tahun sebelumnya, pernah memeriksakan keluhan, tapi dokter menyatakan aku sehat. Hasil medical chek up fasilitas dari kantor satu tahun sekali, sering membuat teman-teman iri. Usia biologisku empat tahun lebih muda, daripada usia seharusnya. Rima jantungku normal, secara klinis tidak ditemukan gejala serangan jantung. apalagi stroke.

Namun, tubuh sebelah kiri terasa berat dan sakit, terutama rongga dada. Tangan sering mengalami tremor dan tidak terdeteksi secara medis.
***

‘Berhentilah berteriak di kepalaku, enyah saja!’

Aku temukan diriku terpuruk di sudut paling luka dalam tangisan, mimpi buruk di malam yang panjang. Kata-katanya mengiris segala nadi, mantra yang merobek hati. Rindu, pilu memadu dari berpuluh-puluh nyeri. Napasku tersengal, tembok kamar terasa buram memepat pandangan, tubuhku lemah tanpa daya. Berusaha menggapai Mama yang duduk di kursi kesayangannya, melantunkan Ayat Kursi.

Alam bawah sadarku seakan menolak menyimpan kejadian yang membuat tubuh sebelah kiri sakit saat mengingatnya. Seperti teror, dada berdebar kencang, aku seringkali demam dan lelah. Bertahun aku memendam kata-kata tajam mengiris, sikap sinis, dan memilih diam. Menguburnya demi alasan silaturahmi. Namun, perlahan semua itu menggerogoti tubuh. Aku di ambang kematian.

Ya Allah, hidup kedua atau kehidupan kekal, mana yang akan Engkau berikan? Aku memohon takdir baik-Mu. Selain harapan, aku memiliki keyakinan.
***

Aku tidak pernah tumbang karena fitnah, tidak gentar dengan cacian, pun tidak takut dijatuhkan. Semua itu seperti kenikmatan bagiku, untuk berlari lebih kencang lagi, melebarkan senyum dan mengangkat dagu. Aku adalah burung merak yang angkuh mengibaskan ekornya, menantang setiap mata yang memandang.

Namun, aku hancur ketika mendengar kata tajam mengiris dan sikap sinis. Karena hampir saja pernikahanku menjadi taruhannya.

“Emang enak punya anak? Punya anak itu enggak enak! Ngapain program hamil?”
“Sudah, nanti-nanti saja hamilnya!”
“Program hamil kok enggak hamil-hamil?”
“Gimana mau punya anak, beli baju buat anak aja kegedean mulu!”
***

Bertahun, aku bukanlah aku. Seperti burung pipit kecil terbang melintasi garis matahari, di hari yang panas. Merindukan sangkarnya yang menghangatkan, menjajal keberanian bertualang. Semakin hari, kata-kata itu menjelma jadi raksasa yang menelanku tanpa belas kasihan. Ketika bertahun dalam pernikahan, Tuhan belum juga meniupkan ruh ke dalam rahimku.

‘Ma … aku jatuh, kalah!’
***

โ€œPsikosomatis. Kondisi yang menyebabkan rasa sakit pada fungsi tubuh, diduga disebabkan oleh faktor psikis seperti rasa cemas atau sedih. Meski tidak ditemukan kelainan pada pemeriksaan fisik, rontgent, atau tes darah.โ€ Seorang psikolog menerka hal itu terjadi padaku.

Selama lima bulan setelah keluar kerja, aku ambruk. Aktivitas pun dikurangi, atau bahkan dihentikan. Duniaku hanya seputar kamar dan tempat terapi. Rumah orang tua menjadi kesepakatan bersama, agar aku lebih fokus sehat kembali. Ini bukan hal mudah, dipaksa bedrest adalah penjara bagiku. Malam menjadi simbol ketakutan, takut gelap yang tidak bertepi, sendiri dan sesak. Aku ketakutan melihat wajah kematian.

Tidak hanya badan yang melemah, emosi pun seringkali turun, kemudian linglung. Malam itu, aku melukai hati Mama, โ€Mama maaf, Ni enggak kuat. Pengin nyerah.โ€

Mama membisu. Seperti dulu, diam tapi begitu memanggil. Lagi-lagi, aku tidak mampu mencerna alasan yang membuat kantung matanya merah bergetar. Mama meredam gemuruh di dada, tapi bergetar hebat di nadiku. Getaran itulah yang mampu menegarkan kembali azamku, senandung tenang. Mama menemani siang dan malam saat aku tidak berdaya, dan hanya teringat kematian.

Ya Allah, jika umurku tidak cukup untuk membuatnya bahagia, tolong bahagiakan Mamaku.
***

โ€Ma … kalau Allah tidak memberi Ni rezeki hamil dan melahirkan, bagaimana?โ€ Pelan, hati-hati aku bertanya. Tidak ingin pertanyaan ini melukainya, pun minta dikasihani.

โ€Mata, telinga, tangan, kaki, hati, dan lisanmu sudah siap jadi ibu? Menjadi seorang ibu bukan hanya perkara hamil dan melahirkan โ€ฆ. โ€œ Mama tersenyum, berusaha memberiku ketenangan.

Ketika samudera kehidupan hampir menenggelamkanku sampai ke dasar, Tuhan seolah berbicara di kepalaku.

Akulah yang mengizinkan hatimu terluka, agar kamu bisa bercermin pada kesabaran Mama. Bukankah, kamu ingin seperti Mama? Apa kamu pernah melihat Mamamu jatuh, ketika bertubi-tubi luka menghunjam jantungnya? Bangun, tatap lukamu!
***

Dalam keterbatasan, Mama memiliki hati yang luas. Tetap tersenyum dan memelukku, sekalipun dalam tangisan pilu. Setiap tetes darah dan nanah yang keluar dari tubuhnya, Mama selalu meyakinkan bahwa hidupku baik-baik saja. Mama adalah catatan ketulusan, perjalanan keberanian.

Merah dan hitam dijalaninya dalam hidup, tapi tak sedikit pun berbagi duka apalagi amarah. Mama adalah kesabaran itu sendiri, tembang jiwaku yang paling murni.

โ€Ma … dunia itu tidak lebih besar daripada kesabaranmu.โ€
***

Antologi Serenade of Love, Agustus 2020
ISBN 978-623-7339-34-2