Kita Harus Telanjang

Resensi Novel Bumi Manusia

Sebelum kita membaca Novel Bumi Manusia, ada baiknya kita bersiap untuk menelanjangi diri sendiri terlebih dahulu.

Cover Resensi Bumi Manusia

Judul : Bumi Manusia
Nama Penulis : Prameodya Ananta Toer
Tahun Terbit : November 2017
Penerbit : Lentera Dipantara
Jumlah Halaman : 535 Halaman

Novel Bumi Manusia ditulis Pramoedya Ananta Toer untuk mengabadikan pemikiran dan kegelisahan batinnya melalui karya sastra, sebagai sahabat manusia. Wajah semesta paling purba bagi manusia yang bermartabat.

Ini kisah cinta, yang dilatarbelakangi pergolakan awal lahirnya Bangsa Indonesia. Anak manusia bernama Minke, dengan lompatan kepribadian yang tidak lazim pada masanya. Dalam tubuhnya mengalir darah Raja-raja Jawa, batinnya sibuk berperang antara kolonialise dan nasionalisme. Sementara, pandangannya mengamini kemajuan Ilmu Pengetahuan dan peradaban, yang kerap dipahami pada kedalaman pemahaman untuk menerjemahkan realitas sebagai modernisasi.

Novel ini telah diterbitkan dalam lebih dari tiga puluh bahasa, bagian pertama dari Tetralogi Pulau Buru. Sebagai pribadi yang dibesarkan dalam tradisi pendidikan Eropa, cara berpikir Minke seringkali mendapat pujian, bahkan dari pembesar Eropa. Dia percaya, Ilmu Pengetahuan yang digaungkan melalui modernisasi bisa membebaskan segala bentuk penindasan.

Apakah itu yang membuat Minke berani menjalin kisah cinta dengan Annelis? Jatuh cinta pada peranakan indo antara Tuan Herman Mellema dengan gundiknya Nyai Ontosoroh. Ironi, ketika Ilmu Pengetahuan menghapus penindasan di bumi manusia, Nyai Ontosoroh adalah kenyataan yang mengutuk lahirnya Ilmu Pengetahuan dari pemikiran-pemikiran Eropa. Dia seorang gundik, tidak berhak memiliki apapun, kendati dia kaya raya baik harta maupun pengetahuannya.

โ€œSemua perasaan tidak akan ada pengaruhnya. Semua kemarahan dan kekecewaan akan sia-sia. Tuan dengar? Tuan mengerti Belanda dengan baik?โ€

Aku tidak paham, karya gilang gemilang Pram ini pada tahun 1981 pernah dilarang beredar oleh Jaksa Agung. Padahal pada Novel Bumi Manusia menyimpan banyak kekayaan baik secara pemikiran, terutama memanusiakan manusia. Novel ini tidak hanya berbicara pada masa lalu, sejatinya persoalan hidup manusia tidak ada yang berubah, terutama perkara cinta. Hanya perbedaan tempat, pelaku dan waktu saja. Meski pada tahun-tahun berikutnya seiring makin terbukanya iklim politik Indonesia, roman dengan tajuk Bumi Manusia diizinkan untuk mengambil bagian penting dalam sastra Indonesia.

Berkali Annelis terpaksa harus ditidurkan demi kisah cintanya, dia tidak memiliki kekuatan karena otaknya berada dalam kepala Ibunya, Nyai Ontosoroh. Begitu pula hatinya, memuja dan berharap banyak pada pemikiran Minke. Sekali lagi, Ilmu Pengetahuan diharapkan mampu membebaskan segala bentuk penindasan, termasuk juga perkara cinta. Namun, hukum tidak pernah sejalan dengan cinta. Dan hukum adalah kenyataan lain dari bentuk penindasan yang merampas hak, keadilan, kemanusiaan, bahkan keyakinan.

Tidak boleh ada Tuhan dalam hukum buatan penguasa, sebagai produk dari Ilmu Pengetahuan yang tidak mengenal adab.

Tentu, karena sekolah tidak mengajarkan mana hak dan mana yang tidak. Sekolah juga tidak mengajarkan mana yang benar dan mana yang salah. Minke menghadapi hatinya, ketika berbagai pemikiran yang selama ini dipujanya tidak mampu menjawab segala pertanyaan. Ilmu Pengetahuan menciptakan hukum hanya untuk mencapai tujuan-tujuan penguasa, oleh karena itu manusia ditimbang melalui tumpukan kertas yang dilegalkan dengan sebutan surat resmi, bukan wujudnya sebagai manusia.

Teriakannya sunyi membentur dinding kokoh yang dingin, bukti bahwa strata sosial masih menjadi Raja di Bumi Manusia. Apa yang harus kita lakukan? Manusia harus telanjang, melihat pada diri masing-masing. Tidak memiliki apapun, kita semua sama. Sama-sama diperkosa dan diperbudak oleh kepentingan sendiri-sendiri, yang pada akhirnya membuat manusia menjadi hewan meski pandai.

20190908_191820_0000

Kembalikan Ilmu Pengetahuan kepada pemiliknya, Tuhan. Bukan menuhankan Ilmu Pengetahuan, karena akal diciptakan agar manusia tidak melampaui batas. Batas nurani. Dan pada akhirnya melawan adalah senjata pamungkas yang harus ditempuh, bukan untuk menang, tapi untuk kehormatan dan harga diri sebagai seorang yang terpelajar juga beradab. Juga, sebagai bagian dari bangsa yang besar.

Sangat disayangkan jika kita melewatkan membaca Novel Bumi Manusia, sebagai bangsa yang besar menyelami lebih kurang lima ratus tiga puluh lima halaman akan membuat kita memiliki pandangan jauh ke depan, meski novel ini bercerita tentang masa lalu. Terutama persoalan manusia, akan kita gunakan sebagai apa ilmu pengetahuan?

Sayang, novel ini tidak menceritakan Minke yang terpelajar sebagai sosok yang kuat. Kekuatan justru ada pada pribadi Nyai Ontosoroh, dengan segala pengaruhnya memutarbalikkan fakta modernisasi. Namun begitu, novel ini sangat adil, seadil pemikiran Pramoedya Ananta Toer.

Jadi, sudah siapkah kita menelanjangi diri? Melihat orang lain sebagai sesama manusia yang patut mendapat penghormatan dan penghargaan terhadap hak-hak kemanusiaannya.

4 thoughts on “Kita Harus Telanjang

  1. BUmi Manusia ini memang lebih pada pribadi “Nyai Ontosoroh” yang kemudian menjadi inspirasi bagi Minke. Sudah lama aku baca novel ini dan suka. Tapi memang belum nonton film-nya karena gak mungkin bawa baby bala-bala, kan.

  2. Dewi jadi belajar banyak membaca ulasan ini, semoga kita bisa menjadi manusia yang baik dalm berbahasa dan bermartabat ya. Salam kenal mbak Dini๐Ÿ˜Š๐Ÿ™

Comments are closed.