Geeta (Sekuel Catatan Kinasih)

Aku ingin di dekatmu, luka… saat sembilu menusuk ketulusan. Selamat tinggal hati yang terpaksa,terbanglah kau seperti burung jua.
***

Artanti, wanita berusia hampir setengah abad yang masih menyimpan rapi paras cantik dengan tubuh tinggi semampai dan senyum memikat. Dia Ibuku. Tepatnya, Bunda. Barangkali itu yang membuat Ayah selalu jatuh cinta, lagi dan lagi pada Bunda.

Bukan bunda yang mendatangi ayah saat sudah mapan. Aaah… sudahlah tidak perlu aku dengarkan! Bahagia, itu yang bisa aku gambarkan tentang kedua orang tuaku. Setidaknya, kisah cinta pelik yang mereka jalani tidak menjadi beban perjalananku bertumbuh. Aku sudah delapan belas tahun sekarang. Sebagai anak, aku lengkap.

Aku mengerti, tidak perlu dijelaskan. Sikap dingin Mbak Hannah, ada kah luka? atau dosa?

Dompet wanita lain.
Rumah wanita lain.
Suami wanita lain.

***

Terdengar suara pintu dibuka tergesa, kemudian diikuti teriakan manja.

“Bundaaa …!” Itu Malaika. Seperti biasa, Malaika lebih memilih mencium pipi kanan kiri bunda bertubi daripada menyalaminya.

Pagi ini, kami akan berangkat ke Jogjakarta untuk kuliah di Universitas yang sama, tinggal bersama seperti kakak dan adik, dan aku senang.

“Kinasih, mari masuk!” sapa Bunda, penuh rindu meski kaku. Ibu Kinasih yang akan mengantarkan kami, dan ini pertama kali dia mampir ke rumah.

Kinasih, wanita yang lahir dari rahim kesabaran. Aku mengamininya, dan tidak pernah mampu menolak kekaguman pada tatapan matanya yang teduh dan bersahaja. Pandangannya tertuju pada vas bunga dimeja, “Bunganya segar, kamu baru memetiknya?” Mata Bunda menunduk, kemudian mengangguk.

Itu bunga kesukaan ayah, bunda sengaja menanamnya. Kalau bunda memetik bunga dan menatanya dimeja, artinya ayah akan makan malam di rumah.

Kuncup Kemuning mekar lagi.
***

Namaku Geeta. Aku putri ketiga dari empat bersaudara. Hannah, Dzakiya, aku, dan Malaika. Ya, aku lahir tiga bulan lebih awal dari Malaika. Dalam tubuh kami mengalir darah pria yang sama, meski detak jantung yang berbeda. Hanya detak jantungku, satu-satunya milik Bunda Artanti.

Perjalanan ke Jogjakarta terasa menyenangkan. Aku bersyukur, keluarga ini adalah sekolah terbaik. Ayah yang bijaksana, Bunda yang penyayang, dan Ibu yang setia.

Ibu tidak pernah membedakan kami, pun bunda, dia menyayangi kami. Itulah alasan aku dan Malaika akan menyusul Dzakiya yang sudah dua tahun lebih awal ke Jogjakarta. Kami bertiga akan tinggal bersama.

Hanya Hannah, setelah lulus SMA dia memilih sekolah di Australia. Lima tahun, Hannah tidak pernah pulang. Dzakiya dan Malaika sering mengunjunginya saat liburan, aku juga rindu. Sudah tiga belas tahun, aku mengetuk pintu hati Hannah, dia tetap geming.

Aku juga adikmu, Hannah ….
***

Hannah. Baginya, kelahiranku adalah sebuah luka. Aku tidak pernah ada dalam pandangan matanya, dan bunda adalah cacat yang tidak termaafkan. Hannah adalah hati Ibu Kinasih yang tidak bisa aku baca. Karena Hannah, aku tahu betapa pedih hati Ibu yang tertutup rapi di belakang mata teduhnya. Hannah memilih untuk pergi, jauh dari kami semua. Barangkali, tiga belas tahun lalu Hannah adalah saksi pengkhianatan ayah dan bunda pada Ibu Kinasih.

Aku mengerti, kenapa sikap Hannah begitu dingin padaku. Hatinya dibiarkan dalam sunyi, menyimpan nyeri dari berpuluh-puluh kenangan. Jerit hati Ibu Kinasih yang tidak pernah terungkap, apakah lebih sunyi?

Apakah ini semua dosa Bunda?

“Bertahun, hati Ibuku nelangsa. Lebih pilu, dari tangis Tante Artanti sepanjang malam ketika meminta Bapak menikahinya, karena kamu sudah telanjur bernyawa dalam rahimnya.” Hanya itu kata yang pernah diucapkan Hannah padaku.
***

Sudah tiga puluh senja di Jogjakarta, aku selalu memilih secangkir teh hangat untuk menemani. Jika ditambahkan gula, aku seperti sedang membaca ulang semua kalimat dalam setiap adukannya. Dalam secangkir teh, aku seolah sedang mengenang setiap inci perjalanan.

Kadang pahit.
Kadang manis.

Tuhan, bukankah selama ini aku patuh? Kemarin aku disentil senja, dia membuka lipatan wajahku yang lupa Tuhan. Ingin sekali aku tumpahkan teh ini, atau melemparkan cangkirnya.

Apa dosaku?
Hannah, sekali saja, lihat aku!

Senja menggelap dan tersisa sepertiga teh dalam cangkir, ketika tergesa Dzakiya masuk ke dalam kamarnya sambil menerima telepon.

“Hannah, dengarkan aku! Usiaku tujuh tahun saat itu dan aku sudah bisa membedakan luka dan suka ….” kata Dzakiya. Aku mengikutinya dan berhenti di depan pintu kamarnya.

“Kamu pikir aku tidak terluka? Kamu juga dengar bagaimana Malaika kecil sangat rewel saat itu? Malaika juga merasakan siksa batin Ibu!” Seperti terempas hati ini mendengarnya. Dzakiya dan Malaika juga terluka.

“Kekecewaan pada Bapak dan Tante Artanti, Kamu balas dengan meninggalkan Ibu?” Aku mendengar Dzakiya terisak.

“Lalu, apa bedanya kamu dengan Bapak dan Tante Artanti?” Nada suara Dzakiya meninggi.

“Ibu sudah memutuskan tetap bersama Bapak, kenapa kita tidak bersama-sama mendukungnya dengan menjadi kekuatan Ibu?” Dzakiya kembali terisak.

“Hannah, kamu hanya membuat luka lain di hati Ibu!” Dzakiya menutup teleponnya.

Aku harus bagaimana? Semua anak perempuan Ibu terluka karena Bunda, dan kecewa pada Ayah. Mendadak aku merasa asing di keluarga ini.
***

Malam menarik senja dari singgasananya, kali ini terasa lebih dingin, dan aku menggigil. Bagaimanapun aku lebih beruntung dari Hannah, Dzakiya, dan Malaika. Ayah tidak pernah melukai senyum wanita yang sudah melahirkanku, dan Ayah tidak pernah mengecewakanku.

Lantas, harus kah aku bahagia? Sementara ada wanita-wanita yang menyimpan luka dan kecewa.

Malamku penuh mimpi, pertemuan tak terjamah.

“Kau adalah mimpi buruk di malam yang teramat panjang ….” Samar, terdengar kata-kata Hannah kembali mengusik ingatan bertahun lalu.

Jika saja aku mampu menjadi penangkal mimpi buruk mereka, akan aku lakukan. Aku tidak perlu lahir di dunia ini. Tapi, apa dayaku? Takdir sudah menjawabnya, tubuhku semakin menggigil.

Tuhan, bukan kah surga itu nyata?

Dompet wanita lain, rumah wanita lain, suami wanita lain, kemudian gelap.

Antologi Nota Parenting, Juli 2020
ISBN 978-623-7339-32-8