Neraka putih, iblis berbisik mesra.
Dia, si pengganggu kantukku. Serang aku di setiap malam, telan aku di setiap jam. Ikat penuh ini tubuh. Merajah inchi pori-pori, aku segera tengadah menyerah merasakan tajam sayatan kukunya. Aku akan melipatkan kaki, merasakan lecutan-lecutan pucuk cemeti.
Aku tak kuasa menolak tatapannya. Kelopak mawar yang dia tebar beradu dengan tawa jenaka, girang saat dia berikan hadiah bertubi kecupan. Aku terbenam dalam selimut tebal, yang pada akhirnya mengantarkan kita ke ranjang. Sentuhan bibirnya, membakar peluhku.
Kita bagai sepasang dewasa yang bahagia, rebah di atas bumi, menutupi segala yang telanjang dengan pelukan. Dia menjelma dari kalbu yang paling dalam, kubiarkan dengan leluasa menjelajahi lekuk liuk tubuhku. Aku kehabisan kata saat dia mencapai puncak cinta, dan air kehidupan menyembur meledakkan segala dinding kepatuhan. Samar batas Rahman dan Rahiim.
Kemudian gelap. Tuhan, Kau dimana?
Hufth! Mimpi itu lagi, tenggorokanku kering. Napasku tercekat satu-satu, ada sesak, ada rindu. Kinara tertidur pulas di sampingku dengan pelukan erat pada gulingnya.
“Dia berwajah malaikat ….”
***
“Selamat pagi Ibu, dengan Nauli. Ada yang bisa saya bantu?” Aku menghampiri seorang perempuan yang baru saja masuk ke banking hall. Segaris senyum tergambar di wajahnya, aku tebak umurnya sekitar lima puluh tahun lebih. Menikmati masa remaja di tahun 70-an, betapa gaya rambut keritingnya tidak bisa berbohong, dari abad berapa perempuan berkulit putih bersih ini mulai lahir di dunia. Dengan dress motif bunga kecil, membuat tubuh mungilnya terlihat serasi. Ya, mulai dari tatanan ujung rambut sampai ujung kaki : match paripurna.
Dia menyerahkan selembar bilyet giro (BG) untuk dicairkan, tertulis penerima di sana bernama Arini. Dia belum menjadi nasabah Bank kami, prospek, nih! Hatiku tersenyum penuh kemenangan. Karena BG hanya bisa dicairkan melalui akun rekening baik itu giro ataupun tabungan. Jumlah nolnya mencapai delapan digit, waw! Bagi marketing bank seperti aku, closing akun rekening dengan nominal tinggi adalah kenikmatan terbesar kedua setelah orgasme. Ups!
“Jika ada hal lain yang Ibu Arini butuhkan mengenai fasilitas perbankan kami, silakan hubungi Nauli di nomor ini.” Aku menyerahkan selembar kartu nama padanya.
“Oke, terimakasih Mbak Nauli.”
Bekerja adalah kegilaanku, tidak ada hal lain yang aku kejar setelah Papa meninggal. Semua orang di rumah harus makan, Mama, Naima, dan juga Kinara. Semua telunjuk seakan mengarah padaku sebagai penyebab kematian Papa. Damn! Apa bisa dikata, aku telan semua pil pahit ini. Bagaimanapun hidup harus terus berjalan, meski lengkung senyumku ikut terkubur bersama Papa.
Maafkan aku, Papa.
“Mbak Naw, ada telepon di line dua, dari panitia Festival Cullinary.”
Deg.
Aku biasa dipanggil Naw, lebih simpel. Dan telepon tadi itu adalah gerbang berikutnya yang akan mengantarkan aku ke level lebih tinggi lagi. Terima kasih, Tuhan.
Sebuah Festival Cullinary yang melibatkan lima puluh pengusaha kuliner Cirebon akan digelar tiga bulan yang akan datang. Dan, bank kami terpilih sabagai sponsor utama festival tersebut, menggeser tiga bank pesaing lainnya. Pasalnya, baru bank kami yang menggunakan sistem pembayaran teknologi QR (Quick Respon) Code yang terintegrasi dengan e-commerce.
“Yesss!” Tentu aku girang bukan kepalang, aku yang mempresentasikan keuntungan apa saja yang akan didapatkan, jika mereka memilih bank kami sebagai sponsor utama.
Segera aku buat tim untuk mengurus persiapan Festival Cullinary, tim Tania pun ikut bergabung. Seluruh Unit Penjualan harus ikut terlibat, ini momen penting. Sejak diluncurkan Gerakan Non Tunai Bank Indonesia, baru bank kami yang mendapat izin untuk memasarkan cashless dan cardless.
Dan yang lebih penting, karir Nauli Dilla. Begitu hatiku berbicara, mantap.
***
Tania adalah Manajer Marketing baru pindahan dari Makasar, kantor cabang utama kami memiliki dua belas kantor cabang pembantu. Lima di bawah kelolaan Tania untuk bidang penjualan bagian Kabupaten Cirebon, dan tujuh di bawah kelolaanku untuk Wilayah Kota Cirebon, ditambah dengan bidang penjualan Kantor Cabang Utama.
Sebenarnya Tania adalah teman masa kecilku, ayahnya tentara dan sering pindah tugas. Ketika kami di kelas lima sekolah dasar, ibunya memutuskan untuk pindah ke Makasar, jadilah Tania dan kedua abangnya pindah ke Makasar. Satu bulan lalu, Tania promosi Manajer Marketing dan ditugaskan di Cirebon. Seperti sebuah kebetulan yang menyenangkan, karena calon suaminya membuka praktek dokter di Bandung. Tania pulang kampung.
Tidak sulit bagi Tania beradaptasi, pembawaannya masih seperti dulu, riang dan hangat. Dengan rambut hitam yang selalu tergerai di punggung, sesekali bagian bawahnya di-curly , menari-nari mengikuti irama langkah dan lekuk tubuh yang sedikit berisi. Cantik dan lucu, dihiasi pipi chubby yang melancip di dagu. Tahu artis Tasya Kamila? Serupa itu, Tania tersenyum memamerkan barisan giginya yang rapi, dengan mata bulat berbinar. Dan yang tidak pernah berubah, senyum cerianya selalu menghangatkan suasana, dia ringan tangan, tidak pernah membeda-bedakan pekerjaan. Selama masih mampu, dia kerjakan meski bukan kewajibannya.
***
Hari ini aku dan Tania ada janji ketemu dengan Ketua Komunitas Pengusaha Kuliner Cirebon, Garadea Manzini. Nama yang unik itu tertulis di kartu nama yang aku terima saat presentasi produk. Aku tidak menyangka, kalau ketuanya masih muda.
Aku dan Tania harus memastikan segala persiapan berjalan lancar, aku butuh bantuan ketua komunitas untuk dipertemukan dengan lima puluh Pengusaha Kuliner yang mengikuti festival. Mereka akan didaftarkan sebagai merchant ePayment berbasic QR Code bank kami. Tentunya, mulai dari pendaftaran, mendapatkan merchant code dan edukasi aplikasi butuh waktu yang tidak sebentar. Aku harus mendapatkan perhatian Garadea Manzini.
Aku mematut diri, kabarnya Garadea Manzini adalah salah satu pengusaha muda yang dikejar banyak bank. Menekuni bidang kuliner, membuatnya mendapat gelar Master untuk Cheff saat sekolah di Malaysia. Kehadirannya di dunia kuliner Cirebon memberi warna baru, kuliner Cirebon semakin hidup dan inovatif. Tua, muda, semua bisa menikmati rasa dan suasananya.
Tidak ada warna lain, setelan blazerku nyaris semua berwarna gelap. Satu-satunya yang berwana lebih cerah hanya abu muda dan moca. Ya, sejak aku menarik diri dari banyak perhatian orang, seleraku pada warna seperti orang berkabung.
Sepuluh tahun lalu … Ah, sudahlah itu tidak penting!
Warna baju bukan tolok ukur pintar atau tidaknya seorang perempuan, meski warna-warna pastel ceria yang sering dipakai Tania selalu menarik banyak perhatian orang. Aku memang punya rasa percaya diri dan kebanggaan yang tinggi. Sekarang aku sudah dua puluh sembilan tahun, hidupku adalah tentang pekerjaan dan keluarga. Aku tidak berpikir yang lainnya, setidaknya sampai sekarang.
Ah, kenapa aku jadi membandingkan diri dengan Tania?
Aku rapikan rambut ikal sebahu dengan ujung jari, ketika seorang pria berkulit putih bersih dan berbadan sedikit gemuk menyapa kami.
“Nauli,” aku menjabat tangannya, diikuti Tania.
“Panggil saya Gerry, Garadea terlalu panjang.” Senyum yang ramah untuk ukuran pengusaha yang dikejar banyak bank, dia memulai pembicaraan.
Obrolan yang asik, friendly. Gaya anak muda zaman sekarang. Berbeda dengan kedua orang tuanya yang berbisnis ekspor rotan, laki-laki berusia tiga tahun di bawahku ini mantap membangun bisnis kuliner.
Kami menyerahkan lima puluh formulir aplikasi pembukaan Merchant QR Code pada Gerry, dengan harapan untuk pertemuan selanjutnya formulir ini sudah terisi, dan kami daftarkan ke unit terkait.
***
“Malam Naw, sorry malem-malem nih. Ada beberapa kendala dalam pengisian formulir, baiknya pihak bank ikut mendampingi pengisian.” Sebuah pesan pendek masuk. Dari Gerry rupanya, cepat sekali dia menghubungi para pengusaha, aku pun tak boleh kalah cepat.
“Oke, Gerry. Kapan bisa berkumpul? Akan aku siapkan tim untuk mendampingi temen-temen pengusaha.”
Mendengar Tania beberapa kali memanggilku Naw, Gerry pun ikut memanggilku dengan sapaan Naw. Ini poin penting bagi seorang marketing, ketika nasabah sudah bisa rileks, sampai memanggil dengan sapaan akrab, sembilan puluh persen kita sudah membeli kepercayaannya.
“Lusa yah, jam tiga sore, di kantor saya.”
“Oke, Gerry. See you.”
Aku rebahkan badan di atas kursi ruang keluarga, belum ingin tidur. Hanya berulang memencet saluran televisi, meski tidak ada yang ingin aku lihat. Ingatanku memutar pada telepon yang diterima Tania sore tadi, saat kami di jalan setelah bertemu Gerry.
“Oke, aku akan mengambil cuti satu hari. Kayaknya pesen cincinnya di Cirebon aja ya, Mas. Aku lagi pegang event, nggak bisa lama-lama.” Setelah itu Tania menutup teleponnya.
“Itu Adrian, tunanganku. Kami harus segera memesan cincin untuk pernikahan. Keluarganya sudah mendesak untuk segera menikah.” Tania bercerita tanpa diminta.
Deg. Waktuku seperti membeku, telingaku mendadak panas. Bukan karena mendengar Tania akan segera menikah. Nama itu, Adrian. Nama yang selalu aku rindukan, meski mungkin banyak sekali laki-laki bernama Adrian.
“Hmmm, semoga lancar sampai hari H, yah!” jawabku, pendek.
“Kita temen sejak kecil loh, Naw. Satu bulan aku di Cirebon, kita belum pernah hangout berdua, cerita-cerita tentang kita. Dan, aku belum sempet berkunjung ke rumahmu, Mama apa kabar?”
“Mama baik, Tan. Masih seperti dulu, suka bikin makanan anak-anak.”
“Oalah, kue unyil favoritku itu. Aku enggak tahu waktu Papamu meninggal, ikut berduka ya, Naw.” Tania menggenggam tanganku.
“Sudah lama juga, hampir sepuluh tahun, kita juga lost contact. Makasih, ya.” Aku membalas genggaman tangannya.
“Oh ya, calon suamimu? Apa kamu sudah punya calon, Naw?”
“Aku masih ingin membuat Mama bahagia, biarlah nanti juga datang sendiri.”
“Gerry kayanya oke tuh, Naw.” Tania menggodaku.
“Hey! Celetukan macam apa itu? Kenal juga enggak, laki-laki umur dua puluh enam belum kepengen merit kali.” Mataku mengerling padanya dan tersenyum tipis, ini anak dapet wangsit dari mana coba?
Tania tergelak. Berkali Tania berusaha mengajakku akrab, bagaimana pun aku temannya sejak kecil. Aku bukannya tidak mau akrab, aku hanya lupa caranya mencairkan suasana. Selain urusan pekerjaan, kehidupan pribadiku sama seriusnya seperti kehidupan pekerjaanku. Orang bilang aku terlalu kaku dan berambisi mengejar karir. Pasti Tania sudah dengar soal ini, aku perempuan berkabung, jarang tersenyum. Kecuali, untuk kepentingan pekerjaan, itu pun terasa dingin. Tembok kantor memang dipasang banyak telinga dan mulut, sudah tidak aneh.
Mereka hanya tahu, aku kehilangan Papa. Mereka tidak pernah tahu, aku kehilangan sesuatu yang tidak pernah aku miliki. Seseorang mengubur pendar di mataku dan aku lupa bagaimana caranya tersenyum. Meski kekuatan lain hadir setelah itu, dan aku berharap kekuatan yang hadir mampu mengembalikan pendar-pendar yang pernah hilang. Rindu itu masih berdesir halus.
***
“Hari ini bisa ketemu?” Baru saja aku telan suapan pertama sarapan, aku melihat pesan pendek Gerry di window smartphone.
Bukannya semalam sudah sepakat untuk bertemu esok hari? Ada apa, ya?
“Ada yang bisa aku bantu?” Aku tekan enter untuk membalas pesannya.
“Pukul sebelas aku akan ke kantormu, untuk buka rekening. Bisa dibantu?”
“Oh, tentu saja.” Rezeki memang tidak akan tertukar.
KTP Gerry masih domisili Manado, seharusnya memang disertakan Surat Keterangan Domisili untuk pembukaan rekening. Namun, bank kami memiliki kebijakan untuk menyertakan identitas lain yang masih berlaku jika Surat Keterangan Domisili belum dibuat. Kulitnya yang putih bersih, ternyata karena dia berdarah Manado dan Cirebon.
“Padahal aku bisa bukakan rekening untukmu, kamu enggak perlu datang ke kantor. Apalagi kamu orang sibuk.” Sekadar memberi tahu, ada beberapa exception untuk pembukaan rekening. Apalagi besok kita akan mengisi formulir pendaftaran ePaymet QR Code, itu sudah termasuk membuka rekening secara kolektif.
“Agar aku bisa berterima kasih padamu dengan makan siang. Kamu belum pernah coba bebek saus telur asin buatanku.” Beberapa detik aku mencoba mencerna ucapannya, dan segera memasang senyum. Dia menatapku sambil menganggukkan kepala, meminta persetujuan.
Berdua? Sebenarnya bukan hal yang aneh jika marketing seperti aku makan dengan nasabah, sebagai bentuk maintenance. Ini kan urusan pekerjaan. Aku sedang ada event bersamanya.
“Yuk!” katanya lagi. Tak ingin ketahuan olehnya, ada degup naik turun di dada menerima tawarannya. Tidak ada alasan untuk menolak, memang sudah dekat waktunya makan siang.
“Aku ambil tasku, dan meminta pak sopir untuk menyiapkan mobil,” jawabku. Nada suaraku normal, aku kembali profesional.
“Pake mobilku sajalah … ini makan siang santai! Tenang saja aku kembalikan kamu ke kantor nanti, aku bukan culik.”
Tentu saja, kamu akan rugi nyulik aku.
Ada apa dengan degup jantungku? Aku istirahat dan makan cukup, tak lupa minum vitamin, kok naik turun begini? Duuuh, biasa saja dong! Makan siang sama nasabah kan bukan hal aneh. Aku pasti terganggu dengan celetukannya Tania kemarin, damn!
“Oke.”
***
Ada lima belas pengusaha kuliner yang memang sudah berusia di atas lima puluh tidak memiliki akun email, sementara untuk pendaftaran ePayment QR Code harus mencantumkan email. Aku dan tim mengedukasi beberapa hal mengenai pemasangan instalasi ePayment QR Code dan pembuatan email, kami bantu untuk membuatkan email.
Beberapa kendala teknis lainnya, seperti kekurangan legalitas dalam pembukaan rekening dan akun merchant. Aku berusaha menghubungi kenalanku di KPP Pratama bagi yang belum mengurus NPWP, Disdukcapil dan Dinas Perdagangan untuk membuatkan keterangan secara kolektif, sesuai dengan prosedur yang berlaku.
Kemudian mengisi formulir pendaftaran merchant dan pembukaan rekening, yang dibuatkan secara kolektif. Selanjutnya, para pengusaha tinggal menunggu rekeningnya terbentuk, menerima merchant code dan password melalui email.
Kami pun terlibat dalam perencanaan lay out di lokasi festival, itu penting untuk menaruh brand bank kami agar terlihat jelas dari berbagai sudut pandang. Begitu lah pekerjaan marketing di dunia perbankan.
Pekerjaan kami tidak hanya memetakan area bisnis, membuat strategi penjualan, melakukan proses penjualan sampai dengan purna jual. Bahkan kami pun bisa jadi pendengar setia curahan hati nasabah, kami bisa jadi keluarga, teman dan sahabat. Kami sering dipercaya manajemen sebagai titisan Dewi Durga yang dalam cerita pewayangan memiliki seribu tangan. Betapa tidak, jika manajemen memiliki beberapa hajat dalam waktu yang bersamaan, maka kamilah para marketing yang akan menjadi event organizer-nya. Bahasa keren dari panitia.
Bahkan bos besar kami percaya, kalau para marketing memiliki indra ke enam. Sebagai ahli cenayang untuk memprediksi cash in dan cash out di setiap bulan yang akan datang. Ya, kami pegawai bank yang tidak memiliki kursi dan meja, kantor kami di lapangan untuk membuat hubungan sebanyak-banyaknya dengan berbagai lini kehidupan dari segi bisnis. Bahkan menjalani bisnis, harus mengerti bahasa hati. Oleh karena itu, marketing adalah pekerjaan hati. Kami pun tidak memiliki jam kerja, kapan pun kami adalah pasukan siaga dalam tugas.
“Thanks yah, kemarin aku pikir ada beberapa pengusaha yang harus dieliminasi dari festival.” Gerry memberiku soft drink.
“Itu kan udah kerjaan aku.” Aku meyakinkan.
“Cuma Naw nih yang dikasih soft drink? Kita bawa tim lima orang, jadi tujuh orang sama aku.” Tania mengerlingkan matanya pada Gerry. Gerry tergelak, sambil menjentikan jari meminta karyawannya untuk memberi kami soft drink.
“Orang bank sukanya yang manis-manis, biar strong!” seru Gerry pada karyawannya.
“Eh, Naw jam lima aku caw duluan ya, mobil aku bawa! Tar aku minta Pak Damiri jemput kalian!” seru Tania
“Loh kenapa? Enggak ikut setting lay out?” tanyaku.
“Hari ini kan ada janji ketemu sama Bapak Bupati untuk proyek pembinaan desa, aku sama Big Boss ke sana.”
“Oh, oke. Sukses ya!”
***
Hari melepas senja, aku masih terpekur dengan gambar kotak dan garis berskala untuk pembuatan lay out. Aku minta izin pada panitia festival untuk memberi saran lay out lokasi, karena harus ada standar bank kami di sana sebagai sponsor utama.
“Mbak Naw, Pak Damiri udah jemput kita. Besok lagi laaah … Pulang, yuk!” salah satu timku mengingatkan.
Tanggung kalau gambar lay out ditinggal, bisa buyar ide-ideku.
“Kalian duluan, deh! Gampang lah, banyak taxi online.”
“Ya sudah, kita jalan duluan ya!” Aku mengangguk.
Waktu menunjukan pukul sembilan malam, aku masih di ruangan yang Gerry siapkan untuk koordinasi terkait persiapan festival.
“Mie tektek sebelah Jogja Grand itu enak, loh!” Gerry membuatku kaget.
“Yaaa, aku pernah beberapa kali mencobanya,” jawabku.
“Desain lay out nya sangat membantu tim kami, kamu jago. Dan, many thanks bantuannya siang ini untuk temen-temen pengusaha yang memiliki kendala.”
“Jadi?”
“Aku antar kamu pulang, mampir dulu ke mie tektek. Aku laper.”
“Sengaja ya, mau bikin aku membulat ngajakin makan mulu?” Gerry tersenyum dan mempersilakan aku masuk ke mobilnya.
“By the way, bebek saus telur asin buatanmu kemarin itu juicy, good food. Thanks, ya!” Aku mengacungkan jempol.
***
Hampir setiap hari kami membutuhkan waktu untuk saling koordinasi terkait festival, mencocokkan berbagai macam hal permintaan manajemen bank kami dan gambaran panitia. Pasalnya, pemimpin dari kantor wilayah bank kami antusias ingin menghadiri acara pembukaan Festival Cullinary Cirebon, event ini harus sukses.
Tidak disadari, aku semakin dekat dengan Gerry. Bahkan dia sering mengantarku pulang, jika aku kemalaman di lokasi dan teman-teman kantorku yang lain sudah pulang lebih dulu. Itulah aku, memastikan dengan mata sendiri semuanya sesuai dengan harapan. Meminimalisir segala bentuk kendala, mencari solusi jauh-jauh hari untuk berbagai kemungkinan yang akan terjadi di luar harapan. Seperti malam ini, entah yang ke berapa kalinya Gerry mengantarku pulang. Tidak seperti biasanya, dia turun dari mobil. Dan menghampiri Mama.
“Malam, Tante. Maaf, aku kemaleman nganterin pulang Nauli.” Gerry mencium punggung tangan Mama. Aku melihat kening Mama mengernyit dengan sedikit tertawa.
“Jadi ini toh yang sering anter Naw pulang, kirain sopir taksi. Dia merepotkan, ndak? Makannya banyak, loh!” Aku mencubit pinggang Mama. Gerry tertawa renyah, dia tidak menyangka, Mama tidak seperti aku. Mama orang yang hangat.
“Masuk dululah, Mama buatkan teh hangat. Sudah lama, tidak ada teman Naw yang main ke rumah.” Mama menyilakannya masuk. Gerry menatapku, ada pendar harapan di matanya. Aku tak mampu menangkap pendar itu, aku tertunduk.
“Ini dia teh spesial buatan Mama Naw, siapa tadi namamu?”
“Gerry Tante.”
“Naw kan panggilnya Mama, teman-teman Naw yang lain juga panggilnya Mama …. ”
Dan, mereka asik mengobrol. Seolah saling mengakrabkan.
***
Persiapan festival sudah berjalan lima puluh persen, waktu kami tinggal empat puluh lima hari lagi menuju perhelatan. Ada warna lain dalam hari-hariku, Gerry yang memulasnya. Gambaran warung tenda pinggir jalan hampir setiap malam mewarnai waktu-waktu melepas lelah, meski Gerry memiliki Cafe dan Resto, kami lebih sering menepi ke pinggiran kota atau warung tenda di parkiran toko yang telah tutup kalau malam, untuk membuang penat. Hanya ada beberapa kendaraan berlalu lalang, tapi membuat kami lebih tenang sambil menggigit jagung bakar, minum wedang jahe atau cemilan lainnya. Malam itu, ada degup aneh menjalar di dada. Gerry ikut bernyanyi saat ada pengamen jalanan lewat, aku tertawa. Sungguh, dia tidak bisa bernyanyi, nadanya ngawur dan itu membuat Gerry berhenti bernyanyi, dia melihatku dengan lekat.
“Kamu tertawa?”
Aku gugup dengan pertanyaannya.
“Hey! Kamu tertawa?” Gerry mengulang perkataannya.
Aku hanya diam, memangnya selama ini aku tidak pernah tertawa? Yang benar saja!
“Kamu cantik, aku suka.” Pendar harapan itu kembali aku lihat di matanya, kali ini aku memberanikan diri menangkapnya.
Ada gugup, aku tidak bisa menyembunyikan naik turun dadaku kali ini. Hueeeyyy!!! Nauli Dilla, sadarlah! Aku seperti kucing tertangkap basah nyolong ikan asin. Ekspresiku tidak karuan, Gerry semakin mendekat. Aku gelisah, pikiranku macam-macam. Apa Gerry mau cium aku?
Ya, dia mendekat. Dan menghapus bening yang tiba-tiba jatuh di pipi.
“Kamu kenapa nangis? Dari tertawa ke menangis kok cepat sekali?”
Uh, aku tidak sadar ada air mata yang jatuh! Aku pasti keliatan norak sekali. Seperti adegan film alay, norak dan kampungan. Tapi, hey! Cinta mana yang tidak tumbuh dengan norak dan kampungan? Kampunganlah yang membuat cinta jadi punya nyawa.
Cinta?
***
Berkali, Gerry membuatku tidak bisa menolak ajakannya. Bahkan, ketika dia mengajakku ke Bandung weekend kali ini. Ada survey test rasa untuk menu baru Salmon Steak Norway yang akan dirilis di cafenya, dan Gerry ingin mencari perbandingan. Kabarnya, salah seorang teman di Bandung mempunyai menu andalan tersebut. Tidak ada hubungannya dengan festival yang sedang kami kerjakan, tapi aku mau ikut dengannya. Apa Gerry membuatku nyaman? Entahlah.
“Iya, Ma. Gerry ke Bandung, ditemenin Naw.” Gerry menerima telepon dari Mamanya.
“Nanti, dong! Pasti Gerry kenalin, Mama pasti cocok sama Naw,” lanjut Gerry.
“Kamu mau kenalin aku ke Mamamu? Kenapa?”
“Semoga secepatnya kamu mengerti, aku tahu kamu juga suka sama aku.” Gerry menggodaku.
Dikenalkan dengan Mamanya? Apa sekarang aku dan Gerry memiliki hubungan spesial? Sampai Gerry pun sering ke rumah, tanpa memberi tahu aku, meminta pendapat Mama untuk rasa masakannya. Apa aku sudah siap menerima laki-laki dalam hidupku? Ada janji yang telah lalu, ingin aku tunaikan dan Gerry tidak tahu apa-apa soal hidupku. Dia tidak mengenal aku, akankah Gerry bisa menerima?
Aku belum merasa yakin dengan semua ini, dan terasa berlebihan jika menceritakan kisah hidupku. Tentang kepergian Papa.
Tidak kuingkari, rasa yang kadang melonjak saat mendapat telepon atau pesan darinya. Dan sering aku mencari dalam diam, saat dia tidak menghubungi atau aku tidak melihatnya di lokasi persiapan festival. Tentu, aku tahu rasa apa ini. Usahanya mendekati Mama, juga perhatiannya, aku berani tersenyum lepas sekarang, bahkan tertawa. Teman-teman di kantor pun keheranan, suatu hari setelan blazerku berwarna maroon dan moca.
“Ini pasti ulah Gerry!” Tania menggodaku, “come on, tak apa kali! Sudah waktunya kamu mikirin diri sendiri. Mama juga pasti seneng, lihat kamu punya temen deket.”
Benar juga kata Tania, Mama memang berkali-kali memintaku untuk memikirkan masa depan dan yang terpikir olehku adalah Gerry. Kehadirannya membuatku ingin melupakan sebuah janji.
***
“Ini Naw, Ma!” Aku menerima undangan makan malam dengan Mamanya, di Cafe dan Resto milik Gerry. Aku merasa mengenal Mamanya. Arini, Ibu Arini. Nasabah yang sekitar sebulan lalu membuka rekening. Aku tidak mungkin lupa, meski nasabah baru, dia memiliki dana cukup besar di rekening bank kami. Apalagi, aku lihat aktivitas rekeningnya sangat aktif. Karena kesibukan persiapan festival, aku belum menyempatkan mengunjunginya untuk memberikan gimmick.
“Ibu Arini?”
“Hey, apa kita saling kenal?” Nada suaranya tidak seanggun saat pertama bertemu di banking hall. Sedikit meninggi, dan cempreng.
“Saya Nauli, mungkin Gerry sudah bercerita soal pekerjaan saya?” Arini memicingkan matanya mencoba mengingat aku.
“Oh, iya. Ingatan saya tidak terlalu baik, maaf.” Dia mempersilakan aku untuk duduk.
“Tidak apa, Bu.” Ada rasa canggung, padahal menghadapi nasabah adalah keahlianku. Tapi kali ini, dia tidak di posisi sebagai nasabah.
“Enggak bilang-bilang nih, Mama sama Naw sudah saling kenal!” Gerry merangkul Mamanya. Terlihat sekali, Gerry sangat dekat dengan Mamanya.
“Gerry anak semata wayang kami, oleh karena itu masa depannya harus baik. Apalagi soal calon istri.” Matanya sedikit menatapku, sedangkan tangannya sibuk memotong steak. Tampak serius.
“Calon Istrinya, harus berasal dari keluarga yang baik. Karena keluarga yang baik, mendidik anak dengan baik. Saya pun tidak main-main mebesarkan Gerry.” Ada nada menyelidik dalam setiap kata-katanya, atau mungkin hanya perasaanku saja, Ibu Arini seolah menemukan sesuatu yang aku simpan.
“Mama …!” Gerry menyela pembicaraan mamanya, setelah melihatku terdiam dengan degup yang lelah.
“Oh ya, kalian baru berkenalan, kan? Gerry masih dua puluh enam, mumpung masih muda baiknya gali potensi lebih dalam lagi.” Ibu Arini menyalakan lampu merah.
“Mama ini kaya Gerry mau kawin besok aja.” Gerry berusaha mencairkam suasana.
“Saya sudah dua puluh sembilan, Bu.” Aku memberanikan diri memberi tahu usiaku yang tiga tahun lebih tua dari Gerry.
“Saya sudah punya Gerry seusia kamu. Tapi, laki-laki di usia tiga puluhan masih terlalu muda untuk menikah.”
“Mama …!” Gerry kembali menghela napas.
Rasa Salmon Steak Norway yang perdana disajikan untukku dan Mamanya mendadak hambar di lidah, aku merasa ditelanjangi masa lalu. Bukan keluargaku yang tidak baik, akulah yang membuat kesalahan.
“Mama hanya terlalu sayang padaku, sebenarnya Mama orang yang menyenangkan.” Gerry menjelaskan, saat mengantarkan aku pulang.
“Aku dan Ibu Arini sama-sama perempuan, tentu aku paham bagaimana perasaannya. Lagipula, kita belum saling mengenal. Tidak ada yang salah.” Aku berusaha menenangkan hati, warna-warna pelangi yang beberapa hari ini menari-nari mendadak mendung kelabu. Harusnya dari awal aku sadar, ini semua tidak akan mudah.
“Tidak cukupkah dengan kita sudah saling menerima?” Gerry berusaha meyakinkan.
“Kamu tidak tahu apa-apa soal hidup aku, Gerry!”
“Kalau begitu, beritahu aku.”
***
Sepuluh tahun yang lalu.
Kemuning, kembang alas wangi. Angin menamparku, cuma diam. Aku, cuma diam.
“Nauli, Ibu minta maaf. Percayalah ini yang terbaik.” Ibu bermata teduh dari keluarga Djatnika memeluk lukaku.
Aku tertunduk, tidak ada lagi air mata yang mampu menetes. Keluarga Djatnika tetap pada keputusannya, mereka akan mengirimkan putra tunggalnya sekolah kedokteran di Negeri Kanguru. Aku tidak berdaya, tradisi profesi dokter di keluarga tersebut harus terpenuhi. Lelakiku anak tunggal, satu-satunya penerus yang harus memenuhi tradisi profesi dokter lulusan luar negeri. Dia tidak mampu menolak keinginan keluarga.
“Tunggu aku!” Kata-katanya seperti menanam harapan dan ingin kupetik sebagai rindu yang genap. Kami masih sembilan belas saat itu, tidak cukup nyali memperjuangkan cinta yang telanjur jatuh.
Malam menyeret kenangan sepuluh tahun lalu, tentang luka, tentang rindu. Harapan itu tidak pernah menjelma rindu, dia tidak pernah memberi kabar. Dan, aku pun tidak tahu bagaimana caranya menceritakan ini semua pada Gerry.
***
Festival Cullinary semakin dekat, aku dan Gerry semakin intens bertemu. Namun, aku membatasi tema obrolan. Sesekali aku melihat Ibu Arini ikut mendampingi Gerry, dia piawai mengatur panitia dalam menjalankan tugas. Melihat caranya mengatur jalannya persiapan, sepertinya Ibu Arini seorang yang keras pada dirinya sendiri. Bahkan, setahuku usaha kuliner yang di bangun Gerry tidak sedikit pun dibantu orang tuanya. Meski orang tua Gerry sangat mampu memberikan modal yang besar, sejak kecil Gerry dilatih menjadi wirausahawan.
Gerry masih tetap mengantarku pulang, tapi aku menolak makan malam bersamanya. Tidak banyak yang kami bicarakan, ingin aku akhiri saja hubungan ini, tapi sehari tak mendapat kabar darinya hatiku meradang. Bingung.
Nauli Dilla jatuh cinta lagi. Apakah cintaku kali ini akan genap? Gerry berusaha meyakinkan aku, masih banyak waktu untuk menarik hati Mamanya. Cukupkah dengan hanya menarik hati? Dulu, Ibu Djatnika pun menyayangi aku. Tapi tradisi keluarga menjadi nomor satu.
“Bicarakan saja baik-baik jika memang ada ganjalan, kalian sudah dewasa, berpikirlah lebih dewasa.” Tania menghampiriku. Aku tidak tahu, apa yang diketahuinya.
“Jika memang tidak cocok, segera akhiri. Jangan buang waktu!” kata Tania lagi.
“Kamu mau jadi Kakakku?” Aku bertanya sekenanya, mendengar kebawelan Tania barusan.
“Punya adik sekaku kamu? Tak jewer tiap hari!” Kami tertawa.
“Mamanya seperti keberatan, usiaku tiga tahun di atas Gerry. Dia enggak mau anaknya cepibaat-cepat menikah.” Aku menjelaskan, kali ini sepertinya aku hanya punya Tania untuk bercerita.
“Jadi kamu yang ngebet kawin?” Eh dia malah bercanda! “sorry, kalau hanya masalah umur itu mah soal kecil. Entar aku ajarin : Cara Mengambil Hati Calon Ibu Mertua.” Tania tergelak.
Aku hanya diam, masalahnya lebih daripada sekadar umur, hanya aku yang tidak tahu bagaimana cara menceritakannya. Suatu kali ingin aku pekikan jerit tangis di sudut hatiku yang paling luka pada dunia :
Aku Nauli Dilla, peduli apa kalian tentang hidupku?
Kalbuku yang paling dalam, perlihatkanlah wujudmu seadanya. Kalbuku yang paling dalam. Wujudkan. Wujudkan.
***
“Adrian dan Ibunya akan datang pekan depan, itu artinya pas banget sama acara Festival Cullinary.” Tania mengeluh.
“Masalahnya di mana?”
Tania memicingkan matanya, menatapku heran.
“Yaaa, emang bukan masalah, tapi Adrian itu calon laki gue, Emaknya calon emak gue. Aku mesti service lah …! Tapi aku juga kan enggak bisa ninggalin tugas kantor, Naw … gito loh!”
“Kenapa nggak diajakin kulineran di Festival Kuliner aja sih, Tan? Sesimple itu!” jawabku datar.
“Emang kamu tuh pinter ya, Naw! Bagus juga idemu.” Tania girang.
“Ealah, kamu tuh yang panikan. Kita udah dewasa loh, berpikir lah dewasa!” Aku mengutip kata-katanya tempo hari, Tania menjawil pipiku.
Tania dan Gerry, sejak kehadiran mereka, hidupku tidak melulu hitam dan putih. Tania yang tidak pernah lelah menyapaku dan Gerry yang berhasil megaduk-aduk perasaan. Aku seperti menemukan Nauli Dilla yang dulu, anak perempuan kesayangan Papa. Dulu, hari-hariku adalah keceriaan dan prestasi yang membanggakan Papa. Sampai hari nahas itu, Papa tidak kuat menahan lebih lama lagi serangan di jantungnya.
Aku berlutut meminta maaf di depan Papa, tapi itu tidak membuatnya hidup kembali. Aku guncangkan tubuhnya, namun sudah membeku tak bernyawa. Papa meninggal, beberapa hari setelah kepergian lelakiku ke Negeri Kanguru. Aku lemas, dua laki-laki yang amat kucinta harus pergi dari pandangan, bahkan Papa pergi untuk selamanya.
“Tan, Adrian ….” kalimatku terhenti.
“Ya, Adrian kenapa?” Tania menunggu kelanjutan pertanyaanku. Aduh kenapa aku jadi kepo begini.
“Enggak apa-apa! Hehehe …. ” Aku nyengir.
“Adrian itu, dokter yang tampan. Dia cerdas, aku sangat suka bersandar di dadanya yang bidang. Dia perhatian, meski pendiam.”
Aku mendengarkan Tania, tapi tiba-tiba dia berhenti bercerita. Tangannya berhenti mengetik di papan keyboard, seakan ada pertanyaan yang ingin diutarakannya.
“Tapi, sering kali aku menangkap rasa kesepian, atau gelisah, atau entahlah … Aku tidak pernah berani bertanya.” Tania melanjutkan ceritanya.
“Dia lulus kedokteran dengan nilai yang baik di Australia …. ” Aku hampir tersedak. Kedokteran di Australia? Jantungku berdegup kencang. Apakah dia Adrian Djatnika? Keringatku bercucuran di bawah mesin pendingin, kepalaku seolah akan pecah. Semoga bukan dia, aku menyembunyikan pandangan dari Tania, tak ingin dia melihat mataku yang hampir basah.
Tania, apakah tunanganmu adalah Adrian Djatnika? Batinku.
“Hey, Naw! Gerry udah jemput tuh. Pulanglah!” Tania membuyarkan peningku. Baik, aku harus segera pulang!
“Aku duluan ya, Tan.”
“Bye …!” Tania melambaikan tangannya.
***
Udara dan langit seolah dicat biru pada kanvas hitam. Hanya awan yang bergulung-gulung putih, sebagian tercoreng kelabu. Sorotan warna warni lampu mewakili taburan bintang yang malam itu tak sempat hadir. Meski begitu, kota seperti tak ingin lekas terlelap, tetap bernapas. Kemudian hanya semarak yang menghias semua penjuru.
Jalan-jalan seperti tahu diri, di malam yang semarak itu, telah memberikan kesempatan daun-daun singgah di tepiannya. Dan, saat itulah sesuatu bergerak. Dimulai dari ujung timur Kota Cirebon. Kawasan Mall yang kami sulap semakin megah, dengan debu yang sesekali ikut memoles udara.
Perhelatan Festival Cullinary pun digelar, dibuka dengan meriah oleh beberapa pihak terkait. Tentunya, melihat kepuasan manajemen atas pekerjaan tim penjualan, itu yang paling utama. Rencananya Festival ini akan diadakan selama satu bulan ke depan. Segala pemasangan instalasi ePayment QR Code baik edukasi maupun teknis berjalan dengan lancar, aku bisa mengangkat dagu. Seandainya Papa masih ada ….
Aku berkeliling menyusuri keramaian, Gerry menemaniku. Sungguh, berapa kali pun aku mencoba menghindarinya. Gerry tak patah arang, bahkan ketika ekor mata Mamanya tak lepas mengikuti. Aku pun berharap begitu, sampai punya nyali menceritakan pilu hidupku. Bisa saja aku mengambil hati Mamanya, hanya karena perbedaan usia. Tapi, apakah Mamanya masih mau menerima aku jika dia tahu alasan kematian Papa? Langkahku tiba-tiba terhenti.
“Kamu mau makan, I Fu Mie ini?” Gerry bertanya, karena aku tiba-tiba berhenti depan stand I Fu Mie.
“Eh, enggak! Aku cuma sedang mengingat, kalau-kalau ada yang terlupa.” Aku berbohong.
“Sudahlah, nikmati malam ini dan lupakan pekerjaan, oke!” Aku mengangguk dan meneruskan jalan-jalan.
Pikiranku berlanjut. Jangankan Mamanya, bisa jadi Gerry yang tidak akan bisa menerima. Aku menarik napas, enggan memikirkannya, meski mendesak-desak kepalaku.
“Hey itu Tania, gabung, yuk!” ajak Gerry. Tentu saja, aku melihat punggung Tania dan eorang laki-laki berbadan tegap merangkul pundaknya. Punggungnya lebar, sepertinya dia hobi berolahraga, itu pasti calon suaminya.
“Nauli?” Seorang perempuan paruh baya berjalan mendekatiku. Kali ini langkahku benar-benar terhenti. Ingatanku seperti memutar kaset film yang telah usang. Aku merasakan tangan Gerry menarikku, tapi aku membeku dan telinga memanas. Perempuan itu semakin dekat, dia memelukku. Kami menjadi pemandangan yang aneh.
Aku tidak mungkin lupa, pelukan ini yang pernah membekukan hati. Teduh matanya membuatku tidak berdaya, dia ibunya Adrian.
“Nauli, ini kamu, kan? Oh, bertahun Ibu mencarimu! Tidak ada yang tahu rumahmu di Cirebon.” Dia memegang wajahku dengan kedua tangannya.
“Sungguh, Ibu menyesal bersikap sekeras itu pada kalian, maafkan Ibu! Seharusnya, Ibu bisa membela kalian.” Ibu Adrian, terus-terusan mengucapkan maaf.
“Ada apa ini? Naw, kenapa kamu menangis?” Melihatku menangis, Gerry berusaha mengambilku dari pelukan Ibu Adrian. Tangannya menggenggam tanganku.
Tania menoleh dan berjalan ke arah kami, aku melihat laki-laki berdada bidang itu berjalan pelan mendekat. Mataku bulat penuh, dengan air mata membanjir tak lepas menatapnya. Tentu saja tunangan Tania adalah Adrian Djatnika. Adrianku.
“Ibu dan Naw saling kenal?” Tania bertanya. Ibu melepaskan pelukan tangannya di wajahku, dia tertunduk menahan tangis di depan Tania. Adrian pun tak berhenti menatapaku, dia semakin dekat. Aku mencari pendarku yang pernah dikuburnya, tapi yang kutemukan hanya sakit. Kematian Papa, tangisan Kinara saat dia terlahir, rindu yang teramat pilu, hina, caci dan segala penghakiman silih berganti mengacaukan hati dan pikiranku yang telah lama tersudut dalam sunyi.
Air mataku semakin tidak terbendung. Ingin rasanya aku menumpahkan segala sesak ini, dengan harapan Papa bisa hidup kembali. Oh … Harapan konyol! Adrian mengambilku dalam pelukannya, dan tangan Gerry semakin kencang menarikku. Aku menangis tersedu.
“Di mana dia? Kamu membesarkannya? Dia cantik atau tampan? Matanya mirip siapa?” Adrian terus menanyaiku, sampai Tania menarik paksa Adrian melepas pelukannya dariku.
“Jelaskan padaku! Ada apa ini?” Tania menatapku yang belum berhenti menatap Adrian. Kemudian mencari pandangan ibu yang tertunduk, pun tak berhasil mendapat jawaban. Ibu semakin tertunduk.
“Adrian, kita akan menikah. Dan kau memeluk perempuan lain di depanku? Kau tahu dia siapa? Nauli sahabatku.” Adrian pun terdiam, tidak mampu berkata-kata.
“Adrian memiliki anak perempuan berumur sembilan tahun, namanya Kinara. Dan aku yang melahirkannya.” Kata-kata itu meluncur begitu saja dari mulutku dan Gerry melepaskan genggaman tangannya dariku. Pelan, tapi pasti.
Tania menjatuhkan kepala dengan kepalan tangan di dada Adrian. Aku berlalu, dengan langkah gontai. Entah apakah aku harus meminta maaf? Langit seakan runtuh seketika.
“Sudah aku bilang, kamu tidak tahu apa-apa soal hidupku, Gerry.” Nyaris berbisik, aku memunggungi Gerry dan meninggalkannya. Meninggalkan semuanya.
Ingin segera memeluk Kinara, buah hatiku. Kini Ayahnya tahu keberadaannya. Janjiku tunai.
***
Mama memelukku sampai pagi. Malam itu aku rebah di pelukan Mama, aku tumpahkan semua sesak, terutama penyesalan atas kematian Papa. Mama mengusap lembut rambutku. Aku ingat dengan jelas saat menyampaikan ada ruh yang hidup dalam rahim, aku masih sangat muda. Adrian lupa dengan kisah kasih kami, membuatku tertunduk dalam lautan luka.
“Aku hamil.”
“Tidak mungkin, Ayah dan Ibu bisa membunuhku!”
“Lalu?”
“Gugurkan kandunganmu!”
“Janin ini sudah bernyawa, aku mulai mencintai detak jantungnya …. ”
Saat itu aku berharap pada ibunya Adrian yang sangat menyayangiku bisa membela kami. Tangannya yang lembut, dan matanya yang teduh tidak mampu meredakan amarah Ayah Adrian. Tidak boleh ada coreng di wajah keluarga mereka dan memintaku menggugurkan kandungan, darah daging keluarga Djatnika.
Aku memilih merawat kandungan, tidak ingin aku tambah dosa perzinaan dengan membunuh janin. Biarlah aib ini aku tanggung, biarlah caci dan hinaan meludahiku. Aku akan tetap membesarkan anakku. Perbuatan kami memang sebuah kesalahan, tapi bukan kejahatan. Namun, di luar dugaan Ayah Adrian menghubungi Papa, menawarkan sejumlah uang untuk menggugurkan kandunganku.
Aku tidak sempat bertemu Papa yang sudah membiru menahan sakit di jantungnya. Putri kebanggaan telah melukai cintanya. Kenapa Papa harus tahu aibku dengan cara seperti ini? Tidak adakah belas kasihan keluarga Djatnika padaku?
Aku menanggalkan sementara jas almamater universitas, karena kemudian perutku semakin membesar dan memakainya kembali setelah Kinara lahir. Aku melahirkannya dalam caci dan hina, orang-orang bergunjing, lidah mereka menjadi hakim yang menyimpulkan serangan jantung mendadak yang diderita Papa. Aku buka selebarnya pendengaran, menerima segala penghakiman atas coreng yang aku toreh di wajah Papa dan Mama. Aku tatap setiap hinaan, demi kehidupan yang harus terus berjalan. Aku harus mendapat pendidikan yang layak, meski sambil bekerja. Sampai akhirnya, sebuah perusahaan perbankan meminangku untuk menjadi bagian dari visi misinya.
Aku Nauli Dilla, memang memiliki kesalahan di masa lalu. Teman-teman kantorku tidak tahu kebenaran soal Kinara, tapi tidak ada yang aku sembuyikan. Statusku memang belum menikah ketika diterima sebagai karyawan, jika aku punya anak, itu persoalan lain. Aku tidak menyembunyikan Kinara, hanya saja tidak pernah diceritakan. Lagipula untuk kepentingan apa aku menceritakannya?
Aku tidak suka menjual iba.
***
“Naw, ada tamu.” Mama mengetuk pintu kamar. Aku masih lelah, dan ingin rebahan. Siapa libur-libur begini bertamu? Apakah Tania? Aku bergegas, mencuci muka yang masih sedikit sembab.
Seorang perempuan dengan tatanan rambut ala tahun 70-an, dengan drses A-Line dan kemeja lengan pendek. Ada pita-pita di kerah berdirinya, rambutnya dibiarkan tergerai di bahu. Ibu Arini, ada apa?
“Saya tidak lama, Nauli.” Aku mengangguk gugup.
“Kamu masih ingat obrolan kita saat makan malam?” Aku kembali mengangguk.
“Gerry, anak semata wayangku. Kamu tentu paham bagaimana orang tua menginginkan kebahagiaan anaknya.” Ibu Arini meneruskan perkataannya.
“Ibu Arini tidak perlu khawatir, Gerry akan meninggalkan saya. Tidak mudah bagi siapa pun menerima kenyataan tentang Kinara.” Aku tersenyum mencoba menegarkan hati. Semoga Kinara tidak mendengar percakapan kami.
“Saya anak ke lima dari tiga belas bersaudara. Ayah hanya seorang kuli bangunan, dan Ibu memncucikan pakaian orang-orang yang membutuhkan.” Ibu Arini menghela napas, kemudian melanjutkan ceritanya, “saya kira, kerasnya hidup yang pernah dijalani hanya berbekal otak anak sekolah dasar adalah perjalanan paling hebat yang pernah saya jalani.” Ibu Arini menyesap teh manis yang dibuatkan Mama, menarik napas dan mencari pandanganku.
“Akhirnya saya mampu membangun kerajaan bisnis, mengangkat derajat orang tua, dan membesarkan Gerry dengan pemahaman bahwa hidup adalah perjuangan.” Aku hanya terdiam, aku paham tidak mudah jadi dirinya. Tentu, semua orang tua terutama ibu adalah orang yang paling menginginkan kebahagiaan anaknya.
“Sampai aku mendengar ceritamu dan Kinara, seberapa lelah kamu menanggung semua itu, Nauli?”
Tiba-tiba saja ketegaranku merapuh, hatiku mencelos mendengar pertanyaan Ibu Arini. Aku tidak dapat berkata-kata. Tentu, lelah sekali. Dan aku hanya terdiam.
“Bagaimana kalau Gerry menerima Kinara? Gerry hanya pantas bersanding dengan perempuan yang memiliki hati kuat dan kamu sudah membuktikannya.” Aku terhenyak dengan pertanyaan Ibu Arini, rasanya tidak mungkin.
“Gerry melepas pegangan tangannya saat saya menceritakan soal Kinara semalam.” Aku menjelaskan. Ibu Arini mengangguk-anggukan kepalanya pelan.
“Saya tidak ingin masa depan Gerry tidak bahagia, bahkan setelah dia tahu soal Kinara, Gerry meminta restu untuk tetap meminangmu.” Kali ini aku benar-benar terdiam, seperti ada yang memutar slow motion sehingga kedipan mata pun bisa terasa. Aku tidak mengerti, apa yang sebenarnya hendak disampaikan Ibu Arini. Aku paham jika dia memintaku menjauhi Gerry. Tapi, barusan itu … dia bilang apa? Meminangku?
“Saya ….” Suaraku tercekat.
“Apa kamu bisa memanggilku, Mama?” Aku hanya terdiam.
“Kalau begitu, kenalkan Mama pada Kinara. Bukan kah dia akan jadi cucuku juga? Luar biasa, aku akan langsung punya cucu hampir gadis.” Ibu Arini menarik napas, sambil mengipaskan tangannya seperti orang kegerahan. Dia kembali menjadi Ibu Arini dengan gayanya yang bak perempuan sosialita, setelah beberapa menit lalu menunjukkan sisi emosionalnya.
Aku memanggil Kinara. Mereka saling bertatap dan berkenalan. Mama menahan haru mendengar dan melihat beberapa adegan kami dari ruang sebelah. Bagaimanapun masa laluku diterima baik oleh Ibu Arini itu sudah lebih dari cukup untuk Mama.
“Nauli, bagaimana dengan ayah kandung Kinara? Sepertinya tidak hanya ayahnya, keluarganya pun menginginkan kamu dan Kinara kembali.”
Sungguh aku belum punya jawaban, jika benar Adrian dan keluarganya menginginkan kami. Pertemuan semalam, masih menyisakan kenangan tentang rindu. Rindu yang dulu.
“Baik, berpikirlah dengan jernih. Dan, jangan bilang Gerry kalau Mama mampir kesini. Ini tentang perempuan.” Ibu Arini mengakhiri kunjungannya.
***
Perempuan tidak bisa hanya mengandalkan cinta dalam pernikahan, karena menikah tidak melulu tentang pria dan perempuan. Namun, perempuan harus mampu menikahi keluarganya pula. Aku sudah mendapatkan sebagian dari sebuah pernikahan, Ibu Arini menerima masa laluku itu lebih dari cukup. Bukan hanya perhatian Gerry, aku juga mendapatkan hatinya.
Kinara akan menjadi anak yang paling kaya raya. Dia akan memiliki dua Ayah dan dua Ibu, ditambah tiga nenek dan dua kakek.
Papa, aku telah menjalani penghakiman yang panjang atas semua coreng yang aku toreh di wajahmu. Kini tersenyumlah untukku, mimpilah yang indah dalam tidur panjangmu. Izinkan putrimu memilih Ibu Arini menjadi Mamaku. Mama dari laki-laki yang ingin aku nikahi, mereka tidak memberiku banyak syarat untuk dicintai. Aku memang tidak menemukan pendar yang pernah hilang terkubur. Tapi, aku mendapatkan cahaya yang lebih berwarna untuk hidupku.
Antologi Once Upon A Time, Februari 2020
ISBN 978-623-7339-33-5