Untough Love

“Anak dan Ibu sama saja, enggak punya otak!”
‘Ups! Ada apa lagi sih ini, anak?’

Aku membaca status di Wa Story Delia, dia memang sering sekali posting masalah pribadi di media sosial. Sebenarnya tidak ingin ikut campur, tapi kedekatan kami sejak kecil selalu memancingku untuk mengingatkan, karena pada akhirnya Delia akan mengadukan masalah rumah tangganya dan meminta saranku.

“Lu lagi kenapa? Anak sama Ibu siapa yang enggak punya otak?”
“Biasalah … laki sama mertua gue! Siapa lagi?”
“Percuma juga lu share di WA story, kan nomor lu juga diblokir sama Bimo.”

Aku sudah berteman dengan Delia dan Bimo sejak mereka pacaran, tidak menyangka pernikahan mereka selalu diwarnai pertengkaran yang panas. Selama pacaran mereka adalah pasangan yang akur dan jenaka. Namun, seringkali Delia menangis sepanjang hari karena pertengkaran mereka. Delia mengeluhkan sikap Bimo yang jarang pulang ke rumah, sementara dia butuh bantuannya menjaga anak-anak. Tidak jarang pula Delia memergoki Bimo dengan perempuan lain, padahal saat itu anak mereka sedang sakit.

“Gue minta cerai, dan dia udah jatuhin talak satu. Biar tahu rasa tuh, si Bimo! Pengin tahu saja, ada cewek yang levelnya di atas gue enggak? Sok banget, kecentilan!”

Berkali kata perpisahan mewarnai pertengkaran mereka, seakan tak ada lelahnya. Namun, pertengkaran tersebut selalu berujung dengan kehamilan Delia di bulan depannya. Kini, pernikahan mereka sudah diikat dengan enam anak.

“Lu bayangin dong! Gue udah capek ngurus anaknya si Bimo, masa gue juga yang mesti beresin rumah! Emang gue babu?”
“Enggak minta asisten rumah tangga aja, Del?”
“Jangankan asisten rumah tangga, ngasih duit buat makan aja kurang! Anak dia enam, makan sehari tiga kali, bocah minta makan macem-macem, belum ongkir ojol, tugas sekolah si Ghea sama Gio, yang kecil minta maenan, ditambah sorenya pada minta jajan!”
“Hmmm … masak gih!”
“Lu lagi, nyamain gue kayak Bi Warsih. Nih ya, perempuan itu dinikahi bukan buat dijadiin pembantu!”

Delia memang sudah terbiasa hidup enak selama ini, tidak pernah tahu pekerjaan rumah, sejak kecil ada asisten rumah tangga yang disiapkan ibunya untuk mengurus segala keperluan rumah. Dan ini jadi bumerang dalam kehidupan rumah tangganya sekarang, ekonomi Bimo yang belum sebaik orang tua Delia tidak mampu memberikan asisten rumah tangga untuk membantu pekerjaan rumah.

Mereka jadi sering bertengkar, Bimo jarang pulang ke rumah kontrakan, karena selalu diberondong omelan Delia. Rumah berantakan, dan Bimo pun akhirnya sering mencari penghiburan dengan perempuan lain. Tidak pernah lagi terlihat Delia dan Bimo sebagai pasangan paling hits of the year yang mewarnai persahabatan kami.

“Eh si tua itu ikut campur, Emak mertua bilang, gue salah didik! Gue balas entar!”

Pernikahan mereka baik-baik saja awalnya, hingga lahir anak yang kedua dan Delia menuntut hidup mandiri terpisah dari rumah orang tuanya. Bimo setuju, mereka menyewa rumah kecil jauh dari orang tua. Dunia membawa mereka pada putaran yang pelik, seolah segala kesamaan diantara mereka pudar begitu saja. Tawa dan canda seketika raib.

Siang ini aku mengunjungi Delia setelah menjemput anak-anak pulang sekolah, dia sudah hampir tidak pernah keluar rumah. Sibuk mengurusi empat balita yang bedanya hanya setahun antara adik dan kakak, yang sulung sudah duduk di bangku sekolah dasar dan yang kedua masih di taman kanak-kanak.
Tidak dapat dimungkiri betapa repotnya Delia, dia memang sengaja tidak menggunakan kontrasepsi, karena berharap Bimo berubah dengan kelahiran anak-anaknya, tidak lagi pergi dengan perempuan lain. Hanya saja, Bimo sudah telanjur malas dengan omelan Delia yang selalu dia dengar saat pulang ke rumah.

โ€œPergi pagi pulang malam, bawa apa kek buat anak istri!โ€
โ€œGue kan abis kerja, buat elu juga, Del!โ€
โ€œKerja apaan? Subuh udah ngacir, pulang tengah malam! Kalau elu kerja buat keluarga tapi enggak punya waktu buat keluarga, itu bulshit namanya!โ€
โ€œTerserah elu, deh! Gue capek, rumah udah kayak kapal pecah! Elu ngapain aja di rumah? Jorok banget!โ€

Pertengkaran mereka bisa terjadi sampai pagi, tidak jarang Bimo pun main tangan pada Delia. Pagi tadi berkali telepon selularku berbunyi, masih pukul 03.00 dini hari. Terkantuk aku mengangkatnya, di seberang sana suara Delia terisak dan aku biarkan dia habiskan sedu sedannya.

โ€œBimo lemparin gelas ke muka, Wi! Kepala gue juga dijedotin ke tembok.โ€ Delia terus menangis.

Kalau sudah begitu anak-anak akan terabaikan, tidak ada sarapan, seragam sekolah belum di setrika, dan Delia akan menangis seharian. Tak jarang anak-anak pun jadi pelampiasan kekesalan Delia. Ini hampir terjadi setiap hari.

โ€œGue tuh cuma butuh didengerin, Wi!โ€
โ€œSekali-kali lu ngalah lah, jangan ngegas mulu kalo laki pulang kerja.โ€
โ€œGimana enggak ngegas, gue tuh tahu Bimo pulang kerja udah dari sore. Dia pasti jalan sama cewek itu!โ€
โ€œLu dapet info kayak begituan dari mana, sih?โ€
โ€œFeeling istri itu kuat, Wi! Dan gue punya banyak mata sama telinga, semuanya terbukti!โ€
โ€œLu juga sih cari penyakit, nyusahin diri sendiri.โ€
โ€œLu enggak ngerti, Wi!โ€
โ€œCoba deh sekali-kali, pas anak-anak udah pada tidur beresin rumah. Enggak mesti semua, tempat biasa elu sama Bimo duduk aja. Kasih Bimo minum, suruh dia duduk dulu. Tanyain baik-baik, seharian ini dia dari mana?โ€
โ€œOrang kayak Bimo tuh enggak bisa diajak ngomong baik-baik, malah makin belagu dia dan menganggap gue kalah, sama kayak Emaknya!โ€

Delia pun sering bertengkar dengan Mama mertuanya. Setiap kali Delia mengadukan sikap Bimo pada Mama mertua, pengaduan itu akan menjadi bumerang untuk Delia.

โ€œGimana anak saya mau betah di rumah? Jangankan ngurus rumah, suami, dan anak! Ngurus diri sendiri aja, kamu enggak becus!โ€

Pernikahan mereka seperti belenggu, masing-masing kesulitan melepaskan diri, pun sudah enggan meluruskan yang terlanjur kusut. Mereka terlihat lelah, tapi tetap bertahan.

Tidak ada lagi Delia yang selalu ceria, mentraktir teman-teman di cafรฉ setiap ulang tahun atau sekadar ngumpul biasa. Delia memang sangat royal soal uang, dan tak segan mengeluarkan berapapun untuk bersenang-senang.

Lahir sebagai anak tunggal, sepi adalah sahabat karibnya saat di rumah. Meski ada kedua orang tua dan Bi Warsih, Delia tetap merasakan kesepian. Dia tidak tahu rasanya bertengkar, berbagi, bersaing, apalagi bercerita tentang aktivitas sehari-hari pada kakak atau adik.

Delia sebenarnya anak ketiga yang berhasil hidup, Ibunya pernah dua kali keguguran. Delia terlahir prematur dan sering bolak-balik ke rumah sakit saat dia masih kecil. Barangkali itu yang membuat Ayah dan Ibunya terlalu khawatir pada Delia. Menjadi satu-satunya milik orang tua, Delia merasa sangat istimewa, sehingga segala keinginannya harus selalu terpenuhi, bahkan orang tua Delia tidak pernah membiarkannya merasa capek.

Keadaan tersebut berbanding terbalik dengan kehidupan rumah tangganya sekarang, dia tidak cukup dewasa mengatasi segala permasalahan yang ada dalam pernikahan. Setiap perselisihan dengan Bimo, dia ceritakan kepada teman, posting di media sosial, bahkan mengadu pada orang tuanya. Hal ini pula yang membuat masalah tidak pernah selesai, karena terlalu banyak yang ikut campur urusan mereka.

Barangkali tidak ada salahnya kita mendengarkan pepatah lama, bahwa menikah tidak hanya butuh cinta. Bagi sebuah pernikahan, cinta memang menjadi fondasi utama, tapi bukan modal satu-satunya. Memang tidak ada pernikahan yang benar-benar berjalan mulus tanpa pertengkaran, namun yang terpenting adalah kedewasaan sikap dan pola pikir dalam menghadapi setiap konflik.

Seringkali talak mewarnai pertengkaran, meski mereka tidak benar-benar berpisah. Anak-anak pun disuguhi drama aksi saling menyakiti orang tuanya, mereka jadi rewel, pemurung dan sakit-sakitan.

โ€œKenapa hidup gue jadi kayak gini ya, Wi?โ€
โ€œLu yang sabar, berusahalah enggak selalu pakai emosi kalau menghadapi masalah.โ€
โ€œEnggak ngerti Wi, sejak nikah gue jadi temperamental begini.โ€
โ€œSekali-kali bujuk Bimo buat piknik, siapa tahu bisa sedikit mengurangi ketegangan kalian.โ€
โ€œBimo tuh enggak pernah pegang anak-anak Wi, kalau pergi-pergian gue repot.โ€

Aku mengelus punggung Delia, memberinya kekuatan.

โ€œGue capek hidup kayak gini, Wi. Enggak kepengin rumah tangga ancur-ancuran, gue tahu masalahnya selalu aja rumah berantakan dan anak-anak yang rewel. Ibu dulu enggak pernah bolehin gue pegang sapu, semua udah beres sama Bi Warsih. Itu makanya, gue coba bersih-bersih juga enggak pernah kepake sama Bimo.โ€

Aku hanya diam, mendengarkan semua keluh kesah Delia.

โ€œBimo sampai minta tolong Mamanya bersihin rumah, benar-benar jatuhin harga diri gue. Setelah itu rumah berantakan lagi sama bocah, Mama ngomel, gue lagi yang salah.โ€

Delia terus bercerita sambil menggendong anak bungsunya yang masih berusia tiga bulan, yang lain termasuk anak-anakku asyik bermain dan nonton televisi. Semoga mereka tidak merekam kegelisahan Delia.

โ€œKalau saja seandainya dulu Ibu enggak ngemanjain, ngasih tugas bersih-bersih rumah, masak, sikat kamar mandi, dan ngejewer gue kalau enggak mau lipat selimut, mungkin sekarang gue enggak keteteran banget ngurusin rumah sama anak. Gue ngerti Ibu sayang, tapi enggak bikin gue jadi kuat.โ€

Tatapan Delia menerawang, barangkali dia sedang mengingat masa lalunya. Ya, Delia memang tidak pernah ambil bagian pekerjaan kalau kami sedang berkemah saat sekolah dulu. Dia selalu meminta tolong yang lain menggantikan tugasnya, dan memberi traktir makan dikemudian hari.

โ€œJujur, gue memang pusing ngurusin kerjaan rumah. Enggak ngerti mesti beresin kayak gimana, atau darimana dulu? Si Bimo juga bukannya bantuin kalau lagi libur kerja, malah ngelayap melulu.โ€

Kisah Delia menjadi pelajaran untukku, sebagai perempuan dewasa aku harus meminimalisasi ketergantungan diri pada orang lain. Tentu, semua orang berusaha menjadi pribadi yang mandiri, dewasa, dan matang, baik secara fisik maupun emosi. Laki-laki atau perempuan, manusia tetaplah manusia. Terlepas dari kesalahan dan kehidupan yang memiliki banyak perbedaan, aku berusaha melihatnya dari kacamata orang dewasa.

Menjadi orang tua pun tidak mudah, kadang aku lupa dan terus beranggapan bahwa memanjakan anak merupakan bentuk kasih sayang. Padahal, memanjakan sama dengan tidak memberi kesempatan anak menjadi pribadi yang mandiri. Menyadari bahwa suatu hari nanti anak-anak tidak akan selalu dalam pengawasanku, mereka akan menjadi dirinya sendiri.

Aku sepakat semua kehidupan anak dimulai dari dalam rumah, tugasku sebagai orang tua untuk mencintai, membuat anak merasa disayangi, dan dianggap mampu. Dunia di luar rumah tidak selalu ramah, ketika ada perlakuan tidak menyenangkan aku berharap dalam hati anak-anak sudah memiliki pegangan yang benar untuk membangun dirinya sendiri.

โ€œLu yang sabar Del, jangan pernah putus minta tolong sama Allah. Anak-anak punya hak memiliki orang tua yang bahagia.โ€
โ€œGue hamil lagi, Wi.โ€

‘Theyโ€™ll have a seventh baby. Ouch!’

Antologi Tough Love, Agustus, 2020
ISBN 978-623-7339-38-0