Jenazah bapak tiba di rumah pada hari pertama puasa, tiga jam menjelang waktu berbuka. Rumah kontrakan kami telah sesak oleh para tetangga yang menyampaikan belasungkawa. Sementara ibu, dia seperti orang lumpuh sejak malam kemarin, saat mendapat kabar bapak sudah tidak ada. Semuanya begitu mendadak. Begitu tergesa.
[Ramadan ini Bapak pulang, Dila!] Itu yang dikatakan bapak sebulan lalu di telepon. Kini, bapak benar-benar pulang. Menepati janjinya, pulang dengan cara lain.
***
Usia bapak sudah lima puluh tahun. Demi menghidupi kelima anaknya, bapak menjadi supir ojek online di ibu kota setelah diberhentikan sebagai satpam di komplek perumahan sebelah kampung kami. Setiap pagi, aku anak tertua dan ibu berjualan nasi uduk keliling komplek. Terkadang aku saja, karena ibu harus mengurus adik-adik di rumah. Penghuni di sana kebanyakan pegawai kantoran, begitu pun dengan ibu-ibunya. Nasi uduk kami laris manis, kebanyakan dari penghuni komplek memang tidak sempat menyiapkan sarapan.
Pernah kami meminta bapak untuk berjualan saja di kampung, tetapi dia menolak karena melihat tetangga yang kehidupannya lebih baik setelah menjadi supir ojek online di Jakarta. Namun, rezeki orang beda-beda. Penghasilan bapak selama ini belum cukup memenuhi kebutuhan kami sehari-hari.
Aku tidak meneruskan sekolah selepas SMP, agar adik-adik bisa tetap melanjutkan pendidikan setidaknya sampai pada tingkat yang sama denganku. Bapak jadi jarang pulang untuk menghemat pengeluaran. Ditambah kondisi pandemi sejak Maret 2020, sudah lebih dari satu tahun bapak tidak pulang. Penumpang jarang, penghasilan berkurang, pulang pun dilarang.
โBiarkan saja mereka buang sampah di belakang, daripada mereka buang ke sungai. Itu hanya sampah, bisa dibakar.โ
Bapak terkenal baik di kampung, dia tidak pernah mempermasalahkan tetangga yang suka buang sampah di belakang rumah kontrakan kami. Dulu, sebelum ngojek di ibu kota kalau sedang tidak bertugas menjaga perumahan, bapak dengan ringan tangan membersihkan semak di pekarangan belakang. Atau dia memilah sampah-sampah yang dibuang para tetangga di belakang rumah lalu membakarnya. Pekarangan belakang rumah kontrakan kami bersebelahan dengan sungai dan sering dijadikan tempat pembuangan sampah oleh para tetangga.
โTapi tanahnya jadi kotor, Pak. Kali aja bisa ditanami sayuran kalau bersih, kan lumayan buat temen nasi atau kita jual buat ladang penghasilan.โ Aku sering tidak setuju dengan bapak yang membiarkan tetangga seenaknya menjadikan pekarangan belakang jadi tempat pembuangan sampah.
โSekarang juga tetap jadi ladang kok, ladang amal buat kita, Dila. Percayalah! Bahkan sepetak tanah yang menjadi tempat sampah pun akan bisa bicara pada Tuhan kelak.โ
Aku hanya diam. Setiap orang memang butuh membuang sampah. kini semakin hari pekarangan kosong semakin rapat, bahkan meski itu di kampung. Sampahnya kian hari kian menggunung. Lagi pula, orang kampung tidak pernah membayar tukang sampah. Mereka selalu membuang sampah di belakang rumah kontrakan kami, dan bapaklah yang biasa merapikannya dengan memilah lalu membakarnya. Itulah bapak, laki-laki yang semakin hari bahunya semakin kurus dimakan usia dan tuntutan kehidupan.
***
Sebulan lalu, ibu marah-marah pada bapak karena sakit dan tidak memeriksakan diri ke dokter. Bapak tetap bekerja mencari penumpang agar dapat uang lebih, tidak peduli panas maupun hujan, karena rindu untuk pulang sudah menyiksanya.
โKapan pulang, Pak?โ Suara ibu terdengar serak saat mendengarku berbicara dengan bapak di telepon. Kalau ibu sudah bertanya kapan bapak pulang, itu artinya bapak tidak boleh ngojek lagi ke ibu kota. Bapak meminjam handphone teman kosnya untuk menghubungi kami melalui telepon seluler milik tetangga sebelah rumah.
Lebaran tahun lalu, bapak tidak pulang karena pembatasan sosial berskala besar. Lagi pula uang bapak juga saat itu pas-pasan. Kalau pulang dia tidak bisa memberi ibu uang, jadi bapak mengalah. Itu yang membuat bapak bekerja lebih keras untuk mendapat uang lebih banyak agar Ramadan kali ini bisa pulang dan tetap bisa menafkahi keluarganya. Namun bagi ibu kecemasan pada kondisi bapak tidak bisa diukur dengan uang, lebih baik kumpul bersama keluarga meski kondisi kami pas-pasan, uang bisa dicari bersama.
[Ramadan ini Bapak pulang, Dila. Janji. Berikan teleponnya ke Ibu, Bapak mau ngomong.] jawab Bapak dengan suara patah-patah.
โTubuhmu itu bukan robot, Pak! Bahkan mesin aja butuh istirahat.โ
โPenting mana, kerjaan atau keluarga?โ lanjut Ibu.
Sepertinya kali ini ibu benar-benar memaksa bapak untuk pulang, tidak peduli bawa uang atau pun tidak. Toh, dengan kondisi masih pendemi permintaan untuk jasa ojek online juga berkurang. Untuk apa bapak bertahan di ibu kota? Mungkin gengsinya sebagai laki-laki, bagaimanapun bapak selalu berusaha membuat keluarganya bangga. Dia tidak pernah tinggal diam agar kami tetap bisa makan.
Bapak hanya tamatan sekolah dasar, tidak banyak yang mau menerima bapak sebagai pekerja. Ada seorang tetangga kami yang menyewakan motor untuk ngojek di Jakarta, beberapa dari warga kampung yang mengadu nasib di sana banyak terbantu kehidupannya. Dengan alasan itulah bapak mantap ke ibu kota, lagi pula ngojek tidak perlu ijazah.
โPokoknya Bapak harus pulang, enggak boleh enggak! Enggak mesti nunggu Ramadan, kalau bisa sekarang saja. Badan Bapak lagi enggak sehat, kalau di sini kan bisa Ibu urusin!โ Ibu menutup telepon, wajahnya yang mulai dijangkiti keriput menggambarkan keresahan. Seperti ada mendung di pelupuk mata ibu, tetapi dia menahannya.
โBapak jangan dimarahi, Bu! Kan udah bilang mau pulang.โ Aku menduga mereka belum saling berpamitan, biasanya ibu selalu mengucap salam sebelum menutup telepon.
โIbu juga bingung Dila, kok dada rasanya enggak karuan. Kesel tapi khawatir. Selama ini Bapak enggak pernah sakit. Semoga Bapak diberi kesehatan dan umur yang berkah, bisa kumpul bareng lagi sama kita.โ
***
[Bapak enggak akan balik lagi ke kota, nanti bantu bapak jualan ya di kampung.] Pagi menjelang hari pertama puasa, Bapak menelepon lagi ke kampung. Memberitahu kami, bapak akan pulang dengan bus. Meski sebelumnya bapak berencana pulang pekan depan.
Saat itu aku mendengar gelagat aneh pada suara bapak. Aku tidak bisa menebak perasaan, harusnya senang bapak pulang lebih awal. Dadaku seperti orang habis nangis. Sedu sedan. Ibu bahagia mendengar kepulangan bapak, dengan lauk seadanya dia memasak dengan suka cita.
Sungguh, aku juga sudah tak sabar dirangkul bapak. Meskipun tangannya sudah tak sekokoh dulu, tetapi tetap mengalirkan kekuatan. Seolah-olah ada mantra yang mengalir ke kaki dan membuatku semakin tegak berdiri. Bapak memang cuma tamatan sekolah dasar, tetapi dia menelan segala himpitan hidup dengan kebijaksanaan. Tuhan melengkapi kekurangan bapak dengan kebaikan hatinya.
Namun, menjelang Isya, Bapak belum juga sampai ke rumah. Perjalanan Jakarta-Kuningan biasanya menghabiskan waktu sekitar enam sampai tujuh jam. Kalau bapak menggunakan bus pertama pukul tujuh pagi, setidaknya sebelum Asar bapak sudah sampai di rumah. Sedu sedan yang dirasakan sejak pagi semakin menjadi, tiba-tiba saja aku panik. Saat itu aku memang berpikir yang tidak-tidak terjadi pada bapak, dan firasatku benar.
[Tadi pagi Bapakmu limbung saat mau pergi ke terminal. Tubuhnya dingin, saya menyuruhnya untuk membatalkan pulang kampung dan istirahat dulu. Bakda Magrib, setelah pulang ngojek, saya bawa Bapak ke rumah sakit karena enggak bangun-bangun. Saya baru mau mengabari kalian, kata dokter sepertinya Bapak terkena angin duduk.] Teman kos bapak yang biasa membantu kami berkomunikasi mengabari, bapak meninggal dunia.
***
Jenazah Bapak tiba di rumah duka pada hari pertama puasa. Tiga jam menjelang waktu berbuka. Rumah kontrakan kami telah sesak oleh para tetangga yang menyampaikan belasungkawa. Ibu masih tidak bisa percaya, kalau Bapak benar-benar sudah tidak ada. Mendung di matanya sejak sebulan lalu, tak juga pecah.
Ibu termangu di depan jenazah Bapak sampai azan Magrib berkumandang. Mengumumkan waktu berbuka. Tubuhnya tetap geming dengan wajah pucat.
***
Antologi Katalog Ramadan, Juni 2021
ISBN 978-623-6359-44-0