Tempat ini selalu memberikan rasa hangat. Makam. Aku telah datang ke pemakaman ini pada berbagai musim, dan kehangatan itu tidak pernah berubah. Hangat yang mengalir diam-diam merayapi tubuh, dan semakin menguat ketika aku melihat papan nisan yang menampakkan sederet tulisan. Nurlani binti Supria, 1970-2015. Nisan ibu.
Selalu ada panggilan untuk melamun, diam yang mengundang dialog dalam diri. Menemui spirit perempuan yang telah melahirkanku di makam ini. Dunia tiba-tiba terkesiap. Lamunan-lamunan seperti sedang dijeda oleh sesuatu yang tak tergambar jelas. Bunga kamboja gugur berserak di tanah merah pemakaman. Pagi dan kicauan burung seperti hilang. Angin yang bertiup seolah-olah lenyap seperti dihalang sebuah tembok besar. Lorong-lorong sepi mengantarkanku pada harum tubuh ibu yang sangat aku suka. Masih tergambar jelas di mata, napas ibu tiba-tiba menjauh, tubuh lemas seperti tiada lagi tulang di dalamnya.
โBu โฆ kaos kaki Kalan mana?โ
Pagi di hari biasa, selalu ada langkah-langkah kecil ibu yang sibuk menyiapkan perlangkapan sekolahku juga perlengkapan kerja bapak. Namun, pagi itu aku tidak melihat dan mendengar suara ibu yang biasa duduk sambil mengomentari siaran Inspira Pagi di stasiun televisi InspiraTV Bandung.
โIbu jangan dibangunin, ya โฆ baru tidur tadi abis Subuh.โ Bapak menyuruhku menyiapkan perlengkapan sekolah sendiri.
Sudah lebih dari tiga bulan, ibu seringkali absen dari aktivitas pagi mondar-mandir memastikan perlengkapan aku dan bapak sudah siap. Sesekali dengan tubuhnya yang melemah ibu memaksa untuk bangun, hanya sekadar menyiapkan kaus kakiku, mencarikan pulpen bapak yang terselip di antara buku-buku kerjanya, atau mengganti taplak meja makan. Sepertinya kegiatan pagi sudah menjadi kesenangan ibu, tetapi hepatitis yang diderita semakin membuat tubuhnya lemah.
Sepekan lalu, ibu meminta untuk pulang dan tidak lagi dirawat di rumah sakit. Dokter mengizinkan ibu untuk berobat jalan.
โBapaaak โฆ!โ Terdengar langkah bapak tergopoh menuju kamar utama. Bapak menatap tubuh ibu lunglai dan gurat wajahnya melembut melepaskan ribuan kisah yang membangun hari-hari kami. Itu adalah hari ketika aku mendapati bapak limbung, bahunya melorot, meski tidak membiarkan air matanya mengalir. Ibu wafat.
Aku telah selesai dengan dialog sepi ini, berusaha mengangkat tubuh yang sedikit pegal karena cukup lama duduk menekuk di bangku kecil yang pendek, kemudian membungkuk menaburkan kembang. Ada ribuan rindu yang aku simpan di sela jemari setiap kali menebar bunga-bunga segar di atas makam ibu.
Seorang anak kecil telah menunggu sedari tadi. Mata anak itu tajam mengunci gerak-gerikku, bersiap membuntuti saat aku beranjak dari makam.
โA โฆ abdi yang suka bebersih makam Bu Nurlani.โ Anak laki-laki berbaju kumal dan sandal usang mengulurkan tangan meminta upah.
โNaha atuh jukutna masih pabalatak, naon nu dibersihan?โ Anak itu tidak menjawab, dia hanya menggerakkan tangan kanannya ke arah mulut, isyarat minta uang untuk makan.
Pemakaman umum di Cikutra Bandung memang sudah biasa ramai dengan anak-anak kecil yang meminta upah dengan alasan telah merawat makam keluarga pengunjung. Aku memberi selembar uang lima ribuan. Seperti biasa ketika salah seorang anak diberi uang, maka teman-teman lainnya akan mengerubungi meminta jatah. Mereka akan terus membuntuti atau bahkan berjalan mundur di depanku dan menghalangi langkah sampai gerbang pintu keluar pemakaman jika tidak diberi uang.
Setiap kali usai dari pemakaman, aku selalu mengantongi berpuluh semangat untuk kembali menegakkan mimpi. Orang-orang melihat duniaku tanpa ibu, tetapi bagi aku ibu tidak pernah pergi, Ibu selalu hidup dalam setiap denyut nadi.
Dengan atau tanpa ibu, mimpiku tidak pernah berubah. Berbekal mantra yang selalu diucapkannya semasa hidup, aku yakin, seorang Kalan memang terlahir sebagai hadiah. Aku hanya perlu membuktikan, meski tidak tahu waktu akan memihak atau tidak.
***
Akhir pekan yang tidak pernah lagi ditunggu, ada tekanan emosi demi emosi yang membuatku asing di rumah sendiri. Tidak ada lagi keakraban yang dulu membuat rindu dan betah. Berharap semua ini hanya perasaanku saja, meski sulit mengakui harapan itu. Bahasa tubuh Bu Ratna seringkali menunjukkan penolakan, meski tutur kata diatur dengan halus. Namun, aku selalu merasa dipojokkan dengan stempel anak broken home.
โCoba Kalan teh dibilangin, Kang, jangan suka gaul sama anak-anak enggak bener. Geura meni siga banci!โ Suaranya tidak pernah dipelankan, seperti sengaja agar aku mendengar.
โIya, nanti Akang ngobrol sama Kalan.โ Bapak berusaha menenangkan Bu Ratna, istrinya. Satu tahun setelah ibu meninggal, bapak memutuskan untuk menikah lagi.
โRatna mah udah enggak bisa ngomong sama Kalan, da beda kali, Ratna bukan ibunya. Tetangga-tetangga teh pada ngomongin, dikiranya Ratna enggak ngurusin Kalan. Padahal kan Kalannya aja yang belum juga bisa nerima kenyataan kalau ibunya udah enggak ada โฆ.โ
โUdah atuh, bisi kedengeran sama Kalan. Dia teh deket banget sama ibunya, entar tambah sensitif kalau keingetan. Nanti Akang yang ngobrol sama Kalan.โ
โSok atuh, jangan cuma nanti-nantinya aja, enggak enak sama orang-orang. Kasihan juga Kalan diomongin sana-sini.โ
Aku menyukai dunia fashion model, tetapi keluarga besar memandang ada yang tidak beres. Bahkan nenek yang dulu selalu memanjakan melebihi ibu, kini ikut meragukan bahkan kadang terasa sinis. Pada tahap ini, aku menyadari, mereka kerap menuding ada yang pincang pada kepribadianku. Lebih jauh mereka menganggap ibu telah gagal menanamkan pesan-pesan moral padaku.
Bagi sebagian orang, keluarga adalah support system terbaik. Namun aku tidak lagi merasakan dukungan di dalam rumah. Keluarga atau orang tua yang harusnya menjadi tempat aman dan nyaman, malah membuat mentalku jatuh. Entah karena generation gap atau hal lainnya, tetapi seringkali kami terbentur pada cara berpikir dan penyampaian pendapat yang tidak pernah menemui titik terang.
Bapak dan Bu Ratna bahkan tidak pernah bertanya, ‘apa itu fashion model?’
‘Apa yang gue pelajari di sana?’
‘Kenapa gue suka sama fashion model?’
‘Memang apa salahnya kalau laki-laki merawat diri?’
‘Hanya karena gue suka maskeran, lulur, pakai day cream, night cream, rajin pakai lotion, wangi โฆ lantas otomatis ada yang salah sama kepribadian gue?’
Dalam hati aku merutuk mendengar percakapan ibu dan bapak, padahal baru saja Bu Ratna bertemu denganku di ruang keluarga sebelum membuka percakapan dengan bapak di ruang tamu yang hanya dipisahkan partisi gipsum.
Jelas, Bu Ratna sengaja ingin aku mendengar ucapannya. Kalau sudah begini, aku lebih memilih untuk meninggalkan rumah. Aku selalu yakin, Bu Ratna tidak benar-benar menginginkan bapak mengajak aku berbicara.
Napasku selalu tercekat satu-satu setiap kali nada miring jatuh di pendengaran, tetapi yang lebih menyakitkan adalah kenyataan bahwa bapak tidak pernah membelaku sebagai seorang Ayah. Padahal semasa ibu masih hidup, bapak tahu aku sangat suka padu padan penampilan. Seringkali aku pula yang mengatur baju couple ibu dan bapak, seragam lebaran, dan berfoto ala-ala model. Kenapa Bapak diam saja?
โKalan keluar dulu, Pak โฆ!โ Jelas terlihat bapak kaget dengan kehadiranku yang mungkin dirasanya tiba-tiba. Aku menangkap redup di mata bapak, sepertinya bapak khawatir aku mendengar percakapannya dengan Bu Ratna barusan. Namun, aku merasa anak-anak di pemakaman yang suka ngaku-ngaku merawat makam ibu dan mengerubungi langkah tidak lebih mengganggu daripada menjadi orang asing di rumah sendiri.
‘Sudah biasa, Pak โฆ setiap kali kalian ngomongin, Kalan denger, kok!’ Kata-kataku tak pernah lantang terucap, bahkan hanya sekadar untuk membela diri. Semuanya tertahan dalam dada yang berdebar tak beraturan. Awalnya sesak, lama-lama aku terbiasa memendamnya dalam diam.
Bandung suram tanpamu, Bu.
***
Aku mendesis kesal dan membungkukkan badan sampai sembilan puluh derajat, dengan napas yang belum stabil. Ruangan ber-AC tetap membuatku merasa gerah.
โLatihan lagi ya, Lan. Kalau latihan di kelas saja masih goyang, apa kabar di panggung runway? Show stage itu enggak cuma asal jalan di atas catwalk, lu punya tanggung jawab besar nyampein pesan dari rancangan baju yang lu pake. Jangan sampe ngecewain designer kita, lo!โ Koreografer yang biasa dipanggil Mas Bimo itu mengingatkan.
Aku mengikuti sekolah model selepas lulus SMA, meski tetap berusaha menjalani kuliah jurusan hukum sesuai keinginan bapak. Antusiasku pada dunia fashion model sebenarnya sudah sejak masih kecil, hanya saja pemahaman keluarga pada dunia ini belum utuh.
Dunia model masih dipandang glamor dan identik dengan pergaulan bebas. Sehingga tidak mudah meyakinkan keluarga bahwa aku tidak sedang tersesat, apalagi meratapi kehilangan ibu selama bertahun-tahun. Justru, besar keinginanku untuk membuktikan ibu tidak pernah salah mendidik. Aku benar-benar terlahir sebagai hadiah, seperti selalu diucapkan ibu setiap kami ulang tahun yang jatuh pada tanggal sama.
โLu kalau mau panjang umur dipake sama designer, kudu mau kerja keras. Enggak Cuma tampang doang yang dibagusin, attitude juga. Jadi model itu bukan cuma pajangan, menarik perhatian orang pan mesti pake hati.โ
โIya, Mas. Thanks, ya, latihannya hari ini! Gue bakal latihan lebih keras lagi, sampe lu enggak bisa nemuin lagi orang yang keukeuh pengin sukses kayak gue.โ
โGue seneng dengernya, Lan, jangan lupa dibuktiin! Awas aja kalau ngelamun-ngelamun lagi, tak sentil lu, ya!โ Mas Bimo mencubit perutku dengan gayanya yang genit.
Tidak bisa dimungkiri gosip yang beredar membuat tembok-tembok pun ikut berbicara. Tidak hanya orang lain, keluarga juga selalu bertanya-tanya alasanku belum juga memiliki pacar. Mereka memang sering melihatku jalan bersama teman perempuan, bahkan pengikut media sosialku hampir sembilan puluh persen perempuan.
โSi Kalan mah sigana teu beuki awewe โฆ punya tampang ganteng, temen cewek banyak, gampang buat dia macarin salah satunya. Tapi naha sampe sekarang enggak juga punya pacar?โ
Seandainya saja ungkapan itu terdengar dari mulut orang lain, mungkin aku masih bisa abai, tetapi seringkali kata-kata tersebut terdengar dari mulut keluarga. Tak jarang pula aku dijauhi teman laki-laki, entah karena takut atau jijik dengan prasangka di benak mereka yang mengamini kalau aku adalah gay.
โLan โฆ gue boleh nanya, enggak?โ tanya Tomi salah satu temanku, suatu hari.
โBoleh, tapi gue bukan gay.โ
โTerus kenapa enggak macarin salah satu dari cewek-cewek yang nge-fans sama lu itu, apa enggak ada yang cantik?โ
โGue enggak tertarik pacaran aja, ribet.โ
โLu aneh Lan, jangan-jangan bener apa kata orang โฆ.โ
โGue bukan gay!โ
Tidak hanya Tomi, aku seringkali mendengar pertanyaan serupa dari teman-teman lainnya. Dari mulai yang takut-takut tetapi tetap kepo, yang pelan-pelan sambil berusaha jaga perasaan, sampai yang terang-terangan menuding diriku gay.
Hal itulah yang membuatku beberapa waktu ini tidak fokus saat berlatih show stage. Terlebih sudah beberapa hari aku melihat kerutan di dahi bapak semakin bertambah dan jelas. Ada kekhawatiran di mata bapak yang semakin menua. Meski yakin bapak memercayaiku, tetapi aku belum menemukan alasan bapak tidak bisa mengungkapkan kepercayaannya. Setidaknya, jika sekali saja aku mendengar bapak membela, maka aku tidak akan peduli terhadap nada sumbang yang lainnya.
***
Kuliah segera dimulai. Aku bersiap lebih pagi dari biasanya dan menyendok nasi goreng yang sudah disiapkan Bu Ratna untuk sarapan.
โEnggak nunggu bapakmu makan?โ Bu Ratna memicingkan matanya.
โKalan ada kuliah pagi, Bu.โ
โKuliah apa kuliah โฆ?โ
Bu Ratna memalingkan muka dan mengambil sapu, menyapu kembali lantai yang sudah dipel, sesekali menyodok kolong meja makan. Debu-debu kecil beterbangan, hinggap di nasi goreng sarapan, ikut tertelan bersama rasa kesal yang sudah biasa jadi makananku.
โCoba sekali-kali kalau ibumu ngomong tuh didengerin!โ Bapak sudah siap dengan setelan baju kantornya.
โUdah Kang, Ratna enggak apa-apa โฆ!โ
Drama!
Kekesalanku mengubun-ubun. Telinga memanas, mataku tajam menatap bapak yang tampak canggung ketika pandangannya tertangkap. Kelopak mata bapak menunduk dengan bola mata yang bergerak gelisah menghindari tatapanku. Bapak menyendok nasi goreng dan duduk menunduk sambil menyantap sarapannya.
โSekali saja lihat Kalan, Pak!โ
โTeruskan makanmu. Lan!โ
โKalan masih anak Bapak, kan?โ
โHush, jangan ngomong begitu sama bapakmu, Lan, pamali!โ Bu Ratna menimpali.
โKalan Cuma pengin ditanya sama Bapak, โapa Kalan baik-baik saja?โ โgimana sekolah Kalan?โ โweekend besok jalan sama Bapak, yuk!โ Kalan pengin cerita banyak ke Bapak, kayak dulu! Kalan masih hadiah yang dikasih Tuhan buat Bapak, kan?โ
โKalan โฆ.โ
โKenapa Pak? Akrab sama anak sendiri enggak akan menurunkan derajat Bapak di depan istri baru Bapak, kan?
โKalan!โ Nada suara bapak meninggi.
โKalan masih anak Bapak! Salah Kalan apa sih, Pak?โ Suaraku tak kalah ikut meninggi.
โSudah cukup! Ini semua memang salah saya โฆ! Saya yang enggak becus ngurusin keluarga ini! Saya enggak sehebat ibunya Kalan โฆ!โ Bu Ratna meraung, dia terus meneriakkan kata-kata sambil menangis.
โIni enggak ada hubungannya sama Bu Ratna!โ Aku mengalihkan pandangan pada Bu Ratna, aku merasakan panas di mata mencapai titik didih.
Aku menaruh kasar sendok makan hingga memantul ketika beradu dengan piring, menimbulkan suara yang cukup membuat bahu bapak dan Bu Ratna bergetar kaget. Tidak seperti biasanya, pagi ini aku merasa sangat emosional. Tidak ada lagi rasa lapar, aku menyambar tas dan jaket, kemudian pergi tanpa ucapan salam meninggalkan bapak yang terpaku dan Bu Ratna yang masih terisak sambil berlutut.
***
Berbekal pengetahuan selama tiga tahun belajar di sekolah model, aku dibantu beberapa teman mendirikan Makaio sebuah brand clothing line. Makaio yang berarti hadiah, terinspirasi dari cinta ibu yang selalu membuatku bangkit setiap kali kehidupan mematahkan kaki. Sambil tetap menyelesaikan kuliah di jurusan hukum, aku juga membangun bisnis di dunia fashion.
Pertengkaran pagi itu, tiga tahun yang lalu, telah membuka lembaran baru dalam hari-hariku, bapak mulai menyapa setiap pagi dan bagiku itu kabar yang sangat baik. Bu Ratna pun tidak pernah lagi mengadukan hal-hal tentang aku yang belum pasti kebenarannya pada bapak. Meski tidak pernah saling menyapa, tetapi sepertinya perlahan Bu Ratna belajar menempatkan rasa cemburu pada almarhumah ibu dengan benar. Dia tidak lagi menjadikan aku sebagai sasaran rasa cemburunya untuk mendapatkan perhatian lebih dari bapak.
Aku mungkin belum berhasil menjadi fashion model seperti impian selama ini, tetapi bisnis yang dibangun sudah cukup mengobati hasratku bergelut di bidang fashion. Sedikit demi sedikit bisnis ini telah membuatku mampu menghidupi diri sendiri dan mulai sedikit menyisihkan untuk biaya kuliah karena bapak meninggal dunia setelah terpapar Covid-19.
โKalan, Ibu minta maaf.โ Hari ini aku dan Bu Ratna memindahkan makam bapak ke pemakaman umum, karena saat meninggal, bapak sudah dinyatakan negatif dari Corona.
โKalan juga minta maaf, Bu โฆ.โ
โIbu masih ingin jadi ibumu.โ
โSekarang kita tinggal berdua, saat wisuda nanti Kalan juga pengin ada seseorang yang dampingi sebagai orang tua.โ Berharap keberadaanku menjadi hadiah juga buat Bu Ratna.
Di depan pusara ibu dan bapak, aku kembali menemukan keluarga. Aku mendapatkan lagi semangat dan kasih sayang orang tua. Kini, ada Bu Ratna seorang perempuan yang butuh aku cintai sebagai seorang ibu.
‘Kelahiran kamu itu hadiah buat Bapak sama Ibu.’
Sayup angin seperti mengantarkan mantra penyemangat hidupku, kakiku melangkah mantap menuju hari yang lebih baik. Tentu, aku akan jadi hadiah terbaik buat bapak dan ibu. Juga hadiah buat Bu Ratna.
***
Antologi I Stand by You, Agustus 2021
ISBN 978-623-6679-68-5