Hannah (Sekuel Catatan Kinasih)

“Bapak pulang โ€ฆ!โ€

Berlari gembira, seperti biasa Dzakiya menyerbu pelukan Bapak. Kemudian Ibu akan mengambil tas yang dibawa Bapak, menyalaminya, lalu segera pergi ke dapur menyiapkan minuman dan makanan kecil dengan suka cita. Maka, hari di mana Bapak pulang akan membuat kehangatan di rumah kami menjadi lengkap.

Kami akan menumpahkan segala rindu, mengacak isi tas, memilih oleh-oleh, dan berebut duduk di pangkuan Bapak. Pekerjaan membuat kami harus terpisah, antara Bandung dan Makasar, Bapak hanya bisa pulang setiap tiga sampai enam bulan sekali. Sejak kelahiran Malaika, Ibu tidak lagi menemani Bapak bertugas.

Aku segera menuju pintu, menyambut Bapak. Tidak berlari, langkahku terasa sangat pelan. Ada yang berbeda, teriakan Dzakiya tidak berlanjut dengan derai tawa karena geli terkena kumis saat Bapak menciumnya. Ya, tidak ada pemandangan Dzakiya digendong Bapak sambil berputar-putar. Namun, Ibu tetap patuh mengambil tas Bapak dan berjalan masuk melewatiku yang masih mematung menyaksikan pemandangan kepulangan Bapak.

Kali ini Ibu tidak bawel menyuruhku membantu di dapur, ada rindu yang begitu diam. Tidak ada kerut di dahinya, seulas senyum tetap tergambar di wajah Ibu. Potret kesetiaan.
***

Halaman 1
โ€œTibo mulyo Kinasih, kamu dan Priambodo berjodoh. Lihat, hitungan mulyonya tepat di tengah telapak tangan! Semuanya dalam genggaman.โ€ Artanti menyemangatiku untuk menerima lamaran Mas Pri saat itu. Iseng saja, kami mendatangi tenda peramal di pasar malam Klaten, kota kelahiran kami.

Pernikahan dengan Mas Pri adalah anugerah paling indah dalam hidupku. Betapa tidak! Alam semesta mengucap syukur dan bersujud bersama saat kami menyatukan dua keluarga besar dalam ikatan yang suci. Aku adalah wanita yang dipilih dan dipercaya keluarganya untuk dapat meneruskan waris yang cemerlang berdasarkan bibit, bebet, dan bobot dari rahimku.

Tidak ada keraguan lagi, keluargaku dan keluarganya sahabat dekat, kami sudah dijodohkan sejak kecil. Tentu, pernikahan kami adalah berkat Gusti Allah yang mengabarkan berita gembira untuk keluarga besar.

Mas Pri menjadikanku ratu di rumah ini, karena dia, aku mengenal para bidadari dari benih yang ditanamnya di rahimku. Kami dikaruniai tiga waris cemerlang, Hannah, Dzakiya, dan Malaika. Mereka adalah bukti ketulusan cinta kami.

Pada hari kelahiran Malaika, ada gelisah yang tidak dapat aku tebak dari raut wajah Mas Pri. Sejak kepindahan tugas ke Makasar, rindu semakin berjarak, dan kami tidak bisa terus bersama sesering yang aku inginkan.
Aku sungguh ingin menemaninya.

Halaman 2
Namun, sampai hari ini aku tidak mampu menemani Mas Pri di Makasar. Maaf. Bukan santunku terbungkam, hanya izinkan agar tidak ada yang melihat pedih ini dalam pengabdianku menjadi istri Mas Pri. Aku tetap memilih menjadi istri Mas Pri, yang meminta pada-Nya sakinah, mawaddah, dan warrahmah.

โ€Sudah kodratnya, jika laki-laki tertarik pada wanita selain istrinya.โ€ Begitu kata Mbok Ning, saat aku memutuskan kembali ke Bandung dan tidak jadi menemani Mas Pri di Makasar.

Mbok Ning sudah mengasuhku sejak kecil, setelah suaminya meninggal dia membantu mengasuh Hannah, Dzakiya, dan kini Malaika. Dia sudah seperti ibuku, apalagi sejak Ibu wafat menyusul Abah, pundaknya yang menjadi sandaran saat Mas Pri menoreh luka dalam pernikahan ini.

Artanti yang lebih dulu sampai ke Makasar, dan menemani Mas Pri di sana. Ini memang sumpah kami bertiga sejak kecil, untuk tetap bersama dan berbagi sampai tua.

โ€œAyo berjanji, kalau kita bertiga akan tetap bersama sampai tua!โ€ Mas Pri kecil menggenggam tangan kami, aku dan Artanti mengamininya. Kini, kami bertiga menjalani sumpah masa kecil. Mungkin karena sumpah ini, Mas Pri dan Artanti tidak perlu meminta izin saat mereka akan menikah, bahkan aku pun tidak mendapat undangan pernikahan.

Tidak bisa kubayangkan, kasih sayang Mas Pri dan sikap jenakanya dibagi dengan Artanti, sahabatku. Hati ini meradang, saat menemukan diriku terpuruk dalam nelangsa di sudut paling pedih dalam suka-duka pernikahan. Aku tidak tahu bagaimana Artanti mengiba, meminta agar Mas Pri bertanggung jawab atas benih yang dia kandung. Mungkin Artanti pun menderita karena tidak ingin anaknya lahir tanpa akta lahir, meski harus menusuk nyawa pernikahan sahabatnya sendiri.

Minggu depan, Mas Pri dan Artanti akan pulang untuk waktu yang lama, karena Mas Pri dipindah tugas ke Bandung. Sudah lama aku tidak bertemu Artanti, mengobrol pun tidak. Ya, sejak lima tahun lalu aku mendapatinya di rumah dinas Mas Pri sambil menggendong Geeta bayi seusia Malaika, buah hati mereka.

Tidak ingin aku melihat pudar cerah di mata bidadari-bidadariku saat bapaknya pulang dengan tante kesayangan mereka, rumah ini harus terasa hangat.
***

Aku tidak sengaja membuka buku harian Ibu malam itu, mungkin dia lupa menyimpannya. Malaika demam dan menangis sepanjang malam, seperti menyuarakan gelisah batin Ibu. Tergesa, ditemani Mbok Ning membawa Malaika ke rumah sakit, dan meninggalkan buku hariannya yang masih terbuka.

Dia Kinasih Ibuku, wanita yang lahir dari rahim kesabaran. Sejak Bapak berbagi kasih dengan Tante Artanti, tak pernah sekalipun aku melihat kerut di dahi tanda beban dan pedih peri di hatinya. Ibu selalu mengulas senyum, menghadirkan segala hangat, tawa, juga canda untuk aku, Dzakiya, dan Malaika.

Ibu memastikan ruang yang luas untuk kami bertumbuh. Sesekali, Ibu terdiam dan menunduk sambil memejamkan mata. Aku rasa, itu saat Ibu tidak mampu lagi menampung air mata agar beningnya tak jatuh di pipi dan terlihat anak-anaknya.

Kenapa Ibu tidak menangis saja? Agar bisa aku peluk.
Kenapa Ibu tidak menangis saja? Agar Bapak bisa lihat luka hati Ibu.

Ibu sangat mencintai Bapak, maka dia mengobati memar di hatinya dengan membuka tangan untuk wanita yang menjadi istri kedua Bapak. Selama satu pekan, Ibu membersihkan dan membereskan rumah untuk menyambut kepulangan Bapak dan Tante Artanti.

โ€œTante Artanti akan tinggal bersama kita sekitar sepekan atau … satu bulan. Kamu bantu Ibu beres-beres ya, Hannah!โ€
***

Aku hanya mampu berdiri dan mematung dekat pintu, lupa menyalami Bapak yang sudah menghampiri, lalu mengacak rambut dan mencium keningku. Ya, tatapanku lurus melihat Dzakiya begitu gembira dengan kedatangan Tante Artanti dan langsung menodongnya untuk jalan-jalan.

Bapak menangkap sikap diamku, tapi tidak berkomentar. Mungkin Bapak paham, aku sudah cukup besar untuk memahami masalah yang terjadi dalam keluarga, kemudian membiarkanku berlalu meninggalkannya. Memang tidak ada satu kata pun yang ingin aku ucapkan, seolah semuanya hilang. Seperti ada tikaman dalam hati, amarah yang mengepungku dalam sepi.

โ€œIbu baik-baik saja?โ€ tanyaku, saat membantu Ibu di dapur
โ€œApa Ibu terlihat tidak baik?โ€ Ibu tersenyum, meski tidak memberiku kesempatan menangkap pandangan matanya. Aku ingin sekali memeluk pedihnya.

Ibu beranjak sambil membawa nampan berisi gelas untuk minum Bapak dan Tante Artanti.

โ€œHannah, kok bengong? Ayo, bawa kuenya!โ€ Biasa saja aku dengar nada suara Ibu, tidak ada getir seperti yang aku sangka. Ibu seperti tanpa masalah, dan aku semakin terluka.

Ini pertama kali aku sangat mengkhawatirkan perasaan Ibu, sejak tidak sengaja membaca catatan Ibu di buku hariannya tentang Bapak dan Tante Artanti. Selama ini Ibu selalu membanggakan Bapak, Dia seperti anak kecil yang melonjak gembira saat Bapak pulang atau menerima telepon. Aku tidak pernah menangkap ada duka yang disembunyikan Ibu.

Pun tentang Tante Artanti, dulu dia sering berkunjung ke rumah kami. Mengajak jalan-jalan atau makan malam bersama di rumah. Ibu, Bapak, dan Tante Artanti sudah berteman sejak kecil. Tante Artanti adalah teman kesayangan Ibu. Begitu cara Ibu membuat aku, Dzakiya, dan Malaika menyayangi Tante Artanti.

โ€œKulo rida, Mas!โ€ Bapak berlutut dan menjatuhkan kepalanya di pangkuan Ibu, Tante Artanti pun ikut berlutut tak berani menatap Ibu. Pemandangan yang membuat tenggorokanku tercekat, tapi tak mampu menahan air mataku untuk jatuh.

Dia Kinasih, Ibuku. Selalu ada lautan maaf bagi orang-orang yang dicintainya. Meski hatinya pedih, Ibu jauh lebih tidak sanggup melihat orang-orang yang dicintainya bersedih. Saat itu gelisah batin Ibu ikut berdenyut di nadiku, kegelisahan antara cinta pada Bapak dan egonya sebagai wanita yang dimadu.
***

Tujuh tahun kemudian
Kopi yang mulai mendingin, pekat dan tidak manis. Aku seperti sedang memutar ulang setiap peristiwa dalam setiap tegukannya, dalam secangkir kopi aku seolah sedang mengenang perjalanan hidup. Senja menggelap dan tersisa sepertiga kopi dalam cangkir, aku rindu Ibu.

Tujuh tahun lalu aku meninggalkan rumah, membawa amarah dan luka yang Bapak beri untuk Ibu. Kehadiran Tante Artanti adalah cacat yang tidak bisa aku maafkan. Namun, tanpa sadar kepergianku hanya menambah luka di hati Ibu. Lebaran kali ini aku harus pulang. Aku merencanakan kemenangan untuk kedamaian dalam diri.

โ€œDunia itu sangat besar, Hannah. Namun, hatimu cukup untuk membawanya, maka bawalah selalu besertamu. Jangan biarkan dunia yang membawamu,โ€ kata Ibu tiga belas tahun lalu, saat memintaku memanggil Tante Artanti : Bunda.

Antologi The Survival, Oktober 2022
Tanpa ISBN, tercatat di Penerbit KMO Indonesia